Ilustrasi / Pexels.com
Teten Masduki Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop dan UKM) menilai RUU Omnibus Law Cipta Kerja menguntungkan koperasi. Mengingat, pendirian koperasi cukup tiga orang dan koperasi bisa mengembangkan unit bisnis serba-usaha. Pernyataan itu menunjukan Menkop tidak paham koperasi.
Definisi koperasi berbeda dengan badan hukum usaha nonkoperasi. Perbedaan yang membawa konsekuensi baik ranah konsepsional maupun pada level implementasi. International Cooperative Alliance (ICA) ketika kongres ke 100 di Manchester Inggris tahun 1995 merumuskan definisi koperasi, yaitu “koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan aspirasi ekonomi, sosial, budaya secara bersama melalui perusahaan yang mereka miliki dan dikendalikan secara demokratis”.
ICA merupakan organisasi gerakan koperasi internasional dibentuk sejak tahun 1895, dan sampai sekarang beranggotakan 220 organisasi koperasi dari 85 negara termasuk Indonesia yang diwakili Dekopin (Dewan Koperasi Indonesia). Dalam konteks ini, RUU Perkoperasian yang juga menjadi agenda Prolegnas seharusnya kembali mengacu kepada jatidiri koperasi yang disebut International Cooperative Identity Statement.
Koperasi perkumpulan otonom dari orang-orang, kata kunci yang terlihat memiliki makna kalau kita kontraskan dengan badan hukum usaha nonkoperasi. Jika Perseroan Terbatas (PT) misalnya, didirikan para pemegang saham dengan sejumlah modal yang disetor, maka koperasi didirikan oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan sama untuk memenuhi kebutuhannya.
Orang-orang yang bergabung dalam koperasi mempunyai tujuan meningkatkan daya tawar (bargaining power) ketimbang menjalankan usahanya sendiri-sendiri. Perspektif ini sejalan identitas ganda anggota koperasi, bahwa anggota koperasi sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa atau nasabah dari unit bisnis perusahaan koperasi.
Kewajiban anggota sebagai pemilik koperasi diantaranya menghimpun permodalan koperasi melalui simpanan pokok, simpanan wajib, dan simpanan sukarela. Permodalan ini digunakan untuk mengembangkan unit bisnis yang relevan dengan kebutuhan anggota koperasi. Berbeda dengan PT pemegang saham mayoritas bebas mengendalikan manajemen perusahaan sepanjang produk bisnisnya diterima pasar.
Orientasi koperasi yang utama menolong diri anggota dan saling membantu diantara anggota koperasi (self-help dan mutual-aid), sementara PT yang terpenting perusahaan mendapatkan keuntungan semata. Jadi, cukup beralasan kalau ada yang menganggap koperasi bentuk perlawanan terhadap kerakusan kapitalisme.
Di titik ini, pernyataan koperasi cukup didirikan tiga orang dan bisa mengembangkan unit bisnis serba usaha tidak kontekstual dengan problem di lapangan. Pertama, intensi pemerintah melonggarkan pendirian koperasi bukan dengan mengurangi jumlah pendiri, tetapi meninjau ulang persyaratan pengajuan akta badan hukum koperasi yang melibatkan pihak notaris. Keterlibatan notaris yang memosisikan sebagai mediator antara koperasi dengan pihak dinas koperasi sering kali menambah beban biaya bagi koperasi.
Kedua, unit bisnis serba-usaha justru membuat koperasi terpuruk. Koperasi relatif maju biasanya memiliki core business atau unit usaha inti. Pengalaman Koperasi Unit Desa (KUD) di era orde baru banyak gulung tikar, karena koperasi secara top-down dipaksakan menjalankan bisnis serba-usaha yang sebetulnya kontraproduktif dengan kebutuhan anggota koperasi itu sendiri.
Tentu, kita semua mafhum pemerintah lewat Kementrian Koperasi dan UKM hendak menumbuhkan ekonomi kerakyatan sesuai amanah konstitusi. Apalagi kontribusi koperasi di Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto masih rendah dibandingkan negara-negara yang kita nilai kapitalis sekalipun. Karena itu, itikad pemerintah harus diikuti pemahaman utuh agar koperasi menjadi soko guru perekonomian nasional.
Penulis: Budiana, Kolumnis kabarkampus.com