Oleh : Mohamad Grandy Ramdhana*
Ilustrasi / Wartabahari
Jumlah orang positif virus covid-19 semakin meningkat dari hari ke hari. Hal tersebut kian memicu pemerintah, baik pusat atau daerah untuk melakukan langkah-langkah pencegahan penyebaran wabah tersebut.
Langkah preventif paling ekstrim sejauh ini dilakukan dilakukan oleh Pemerintah Kota Tegal, dengan menutup semua akses ke sana selama empat bulan dimulai sejak 30 Maret 2020 hingga 30 Juli 2020. Walikota Tegal Dedy Yon Supriyono menyampaikan, kebijakan ini diambil karena kekhawatiran akan virus covid-19 yang secara tidak sadar dibawa oleh pendatang atau perantau yang kembali ke Tegal. Mengingat, banyak masyarakatnya yang merantau di Jakarta.
Keputusan ini menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Beberapa mengapresiasi langkah ini sebagai upaya pemerintah daerah untuk menyelamatkan warganya. Sedangkan di sisi lain mempertanyakan apakah kepala daerah memiliki kewenangan untuk mengambil kebijakan seperti ini. Perdebatan tersebut muncul karena apa yang dilakukan pemerintah Tegal ini tidak sejalan dengan pemerintah pusat. Sebagaimana disampaikan oleh Presiden Joko Widodo tidak akan melakukan lockdown serta memilih langkah-langkah lain seperti social distancing dan tes massal.
Peraturan Indonesia mendefinisikan lockdown sebagai karantina kesehatan, tertuang dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam pasal 49 ayat 1 disebutkan ada empat jenis karantina, yaitu : karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit dan yang terakhir adalah pembatasan sosial berskala besar oleh pejabat karantina kesehatan. Lockdown masuk dalam kategori karantina wilayah yang mana siapapun dilarang keluar rumah tanpa izin aparat (Polisi/TNI/BNPB).
Selain itu, aparat juga diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan hukum bahkan sangsi pidana bagi mereka yang keluar rumah tanpa izin sebagaimana diatur dalam Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan yang menyebutkan: Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Tindakan tersebut tentunya bukan tanpa risiko. Ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan sebagai timbal balik dari pemerintah. Salah satunya adalah pemerintah wajib menyediakan makan tiga kali sehari untuk warganya. Makanan tersebut akan disalurkan oleh aparat (TNI/Polri/BNPB) ke setiap rumah sesuai jumlah warganya. Inilah alasannya mengapa kebijakan lockdown pemerintah pusat yang berwenang melakukannya, karena tidak sesederhana hanya menutup akss masuk dan memerintahkan semua orang untuk tidak keluar rumah. Melainkan harus menjamin kebutuhan primer masyarakat selama karantina berlangsung.
Nah, apakah yang dimaksud Lockdown menurut Dedy Yon Supriyono sesuai dengan UU Kekarantinaan Kesehatan? Dalam pernyataannya Dedy hanya membatasi akses masuk ke Kota Tegal Dengan pembatas beton. Hal ini dimaksudkan agar kendaraan dari luar tidak masuk ke Kota Tegal. Namun, beliau tidak membatasi aktivitas warganya. Ada 49 titik jalan yang ditutup menggunakan moveable concrete barrier mulai dari jalan protokol dalam kota hingga jalan penghubung antar kampung yang berbatasan dengan Kota/Kabupaten lain.
Sedangkan jalan nasional dan jalan provinsi tidak akan ditutup karena itu merupakan wewenang pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Hal ini sangat tepat mengingat posisi Kota Tegal berada di Jalur Pantura sebagai jantung transportasi logistik Pulau Jawa. Jika ditutup maka akan menghambat pasokan logistik dari Jakarta ke bagian tengah dan timur Pulau Jawa. Pasalnya, situasi sat ini membutuhkan kecepatan transportasi logistik terutama bagi alat-alat kesehatan yang berfungsi sebagai alat penanganan wabah covid-19.
Terlepas dari pro dan kontranya, kebijakan Walikota Tegal ini patut diapresiasi sebagai sebuah langkah kongkrit kepala daerah melindungi warganya dan tetap berpegang pada batas-batas kewenangan yang dimiliki. Semoga langkah ini dapat ditiru oleh kepala daerah lainnya untuk mengedepankan keselamatan warga tetapi tetap dalam koridor yang sama dengan kebijakan pemerintah pusat. Sebab, dalam kondisi ini sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah jadi kunci paling penting untuk menangani pandemik. Semoga badai ini cepat berlalu.
*Penulis adalah Anggota Divisi Kajian Kritis Geostrategy Study Club