More

    Indonesia Belum Memenuhi Syarat Penerapan ‘New Normal’

    JAKARTA, KabarKampus – Wacana menuju normal baru saat ini kencang digulirkan di Indonesia, terutama setelah Presiden Joko Widodo mengajak masyarakat untuk berdamai dengan virus ini. Bahkan, pemerintah tengah mempersiapkan penerapan tatanan kehidupan baru atau normal baru.

    WHO sendiri telah mengajukan enam syarat untuk sebuah negara dalam menerapkan kehidupa normal baru. Pertama, bisa menunjukkan bukti bahwa transmisi Covid-19 telah terkendali. Kedua, kapasitas sistem dan kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit telah memadai untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak, dan mengkarantina mereka yang terinfeksi.

    Ketiga, selain mencegah terjadinya kembali risiko kasus impor, risiko Covid-19 juga harus diminimalkan, terutama di kelompok rentan seperti lanjut usia. Keempat, langkah pencegahan di tempat kerja juga harus ditetapkan dengan ketat, meliputi jaga jarak fisik, adanya fasilitas cuci tangan, dan sirkulasi udara yang baik. Keenam, selain indikator epidemiologi, kapasitas kesehatan dan daya dukung fasilitas fisik, WHO juga memberikan syarat yang berdimensi sosial, yaitu pemahaman risiko masyarakat dalam transisi menuju normal baru.

    - Advertisement -

    Lalu apakah Indonesia memang sudah memenuhi syarat WHO sebelum memasuki normal baru ini?

    Hans Henri P. Kluge, WHO Regional Director for Europe mengingatkan, jika negara tidak dapat memastikan persyaratan kesehatan masyarakat, jangan bermimpi mengurangi pembatasan dan mencapai normal baru. Menurutnya, Covid-19 tidak kenal ampun dan memiliki kemampuan untuk melumpuhkan sistem kesehatan terkuat sekaliber negara-negara maju di Eropa hingga Amerika Serikat.

    Irma Hidayana, MPH, Ph.D, salah satu inisiator Laporcovid19.org menjelaskan, data yang akurat dan transparan merupakan kunci untuk memahami kondisi yang riil. Data iniah yang seharusnya menjadi dasar bagi kebijakan yang berdampak bagi keselamatan warga.

    Seperti yang disebutkan dalam panduan WHO, tentang pencatatan kematian Covid-19 menyebutkan bahwa mereka yang meninggal dengan gejala diduga Covid-19 harus dicatat sebagai kematian Covid-19. Artinya ODP dan terutama PDP yang meninggal mesti dicatat sebagai kematian Covid-19.

    “Namun hingga saat ini pemerintah belum mencatatnya sebagai kematian terkait Covid-19. Sehingga, data kematian yang dipublikasikan secara resmi tidak merefleksikan angka yang ada di lapangan,” ungkap Irma dalam siaran persnya, Minggu, (31/05/2020)

    Akibatnya, tambah Irma data resmi yang ada tidak bisa digunakan untuk mengukur rasio kematian akibat Covid-19 yang sesungguhnya. Oleh karena itu, data yang ada tidak bisa digunakan sebagai basis untuk persiapan pelonggaran tatanan kehidupan baru atau ‘new normal’,” ungkapnya.

    Relawan Laporcovid19.org sejauh ini menemukan pelaporan data kematian terkait Covid-19 yang masih tidak seragam. Tidak semua kabupaten dan kota serta provinsi mencatat angka kematian terduga Covid-19.

    Berdasarkan yang mereka kumpulkan, hanya 21 dari 34 provinsi yang memiliki pencatatan tentang data PDP yang meninggal. Sehingga jika mengikuti anjuran WHO untuk pencatatan kematian Covid-19,mereka hanya bisa menghimpun pencatatan data kematian dari 22 provinsi saja. Ke-22 provinsi tersebut adalah Banten, Bengkulu, DIY, DKI Jakarta, Gorontalo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Lampung, NTT, Papua Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Sulawei Utara.

    “Terdapat 10 provinsi yang tidak memiliki data ODP/PDP meninggal: Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kep. Bangka Belitung, Maluku, Maluku Utara, NTB, dan Sulawesi Tengah,” terang Irma.

    Data kematian per 29 Mei 2020 yang laporcovid himpun, jumlah total kematian kasus terduga Covid-19 masih jauh lebih tinggi dari jumlah kematian positif Covid-19 di 34 provinsi. Perbandingannya masih lebih dari 3.5 lipat.

    Hal itu konsisten dengan temuan perbandingan angka kematian sejak 9 Mei-15 Mei. Kematian positif Covid-19 sebesar 1.503 (23.%), dan kematian ODP + PDP sebesar 5.021 (77%), sehingga total kematian terkait Covid-19 mencapai 6.323.

    PSBB akan berakhir, namun jumlah kasus makin banyak

    Selain itu, meski PSBB disebut-sebut akan akan berakhir, namun jumlah kasus bertambah. Seperti Makassar, Tegal dan Palangkaraya sudah mengakhiri PSBB sejak tanggal 21, 23 dan 24 Mei 2020.

    Namun ternyata jumlah kasus tidak berkurang atau terkendalikan. Contohnya, ada 84 kasus positif baru di Makassar terhitung sejak tanggal 22 hingga 29 Mei 2020. Kota dengan populasi penduduk tertinggi di Indonesia Timur itu juga mengalami peningkatan PDP aktif, dari 223 orang di 22 Mei 2020 menjadi 326 di 29 Mei 2020.

    Sementara Palangkaraya, pada 4 hari setelah PSBB berakhir, jumlah kasus positif bertambah dari 31 menjadi 46. PSBB Tegal yang berakhir dengan sujud syukur bersama di alun-alun, pun masih menyisakan lonjakan di PDP meninggal dan Positif meninggal, yaitu dari 11 dan 1 orang menjadi 16 dan 3 orang.

    Sebelum 3 kota tersebut mengakhiri PSBB, Laporcovid juga tidak menemukan informasi apakah Pemerintah Kota telah melakukan kajian epidemiologi. Bahkan Prof Ridwan Amiruddin, ahli epidemiologi dari Universitas Hasanuddin menyatakan jelang berakhirnya PSBB Makassar jilid 2, angka reproduksi kasus Makassar masih 2,56 yang berarti 1 kasus bisa menularkan 2-3 orang.

    Tanpa Tes Memadai

    Hingga saat ini, pemeriksaan PCR hanya diprioritaskan pada ODP, PDP dan OTG-reaktif-rapid test. Padahal, data global menunjukkan bahwa sekitar 80% orang positif Covid-19 adalah kasus tanpa gejala yang berpotensi menular pada orang lain apabila tidak diisolasi. Karena itu, jangkauan tes PCR harus diperluas dengan melakukan tes pada OTG.

    Untuk mengevaluasi jangkauan tes PCR, setiap daerah perlu menghitung rasio jumlah total tes PCR yang sudah dilakukan per total orang yang positif. Sebagai contoh, rasio di DKI Jakarta adalah 9,8 (68.917: 7053), artinya DKI telah melakukan 10 tes PCR untuk menemukan 1 orang kasus. Kondisi DKI Jakarta sedikit lebih baik dari kondisi tes nasional di mana angka nasional menunjukkan pengetesan terjadi pada 8 orang untuk menemukan 1 orang positif. Sayangnya, hingga saat ini, hanya DKI yang menampilkan data total jumlah orang yang diperiksa PCR. Provinsi lain seperti Jabar hanya melaporkan total spesimen yang diperiksa, bukan total orangnya.

    Berdasarkan pertimbangan sebagian data epidemiologi dan sosial di atas, maka laporcovid19 merekomendasikan beberapa hal terkait rencana normal baru di Indonesia.

    Pemerintah harus memastikan jumlah tes PCR dilaksanakan dan terdistribusikan secara proporsional di seluruh wilayah RI. Memastikan suatu wilayah tidak terdampak Covid-19 hendaknya dibuktikan dengan penelusuran kontak dan pelaksanaan tes PCR sesuai dengan rekomendasi WHO.

    Kemudian selain meningkatkan jumlah tes, jangkauan tes juga harus diperluas, termasuk memeriksa orang tanpa gejala (OTG), sehingga sirkulasi penularan bisa diputus. WHO menyatakan bahwa karantina yang efektif adalah esensial untuk mengalahkan virus corona. Oleh karena itu, penemuan kasus dengan tes yang ekstensif adalah kunci untuk mengendalikan penularan COVID-19.

    Bagi mereka, semakin banyak tes, maka semakin banyak kasus yang berpotensi terjaring (termasuk OTG). Dengan demikian, dapat dilakukan karantina yang lebih optimal untuk memutus rantai penularan.

    Selanjutnya pemerintah juga harus membuka secara transparan informasi dan data jumlah tes PCR yang telah dilakukan beserta data ODP, PDP (total, yang dirawat, diisolasi, meninggal). Informasi dan data ini termasuk informasi Publik yang harus disampaikan dalam situs pemerintah daerah masing-masing secara terbuka. Sebab, melalui keterbukaan data dan informasi tentang jumlah tes dan jumlah kasus Covid19, maka pemerintah bisa memberikan informasi yang tepat terkait sebaran dan besaran kasus Covid-19.

    Menurut Irma, publik perlu diberitahu situasi sesungguhnya, bahwa data dan angka tentang jumlah kasus sebaran Covid-19 saja tidak cukup menggambarkan sebaran kasus di lapangan. Karena, selama pemerintah menutupi jumlah tes yang telah dilakukan, maka selama itu pula kredibilitas data kasus pemerintah akan selalu dipertanyakan. Jumlah tes mempengaruhi perhitungan jumlah kasus.

    “Pemerintah harus memastikan seluruh kabupaten dan kotamadya di Indonesia melakukan pendataan yang seragam, termasuk mengakomodasi jumlah ODP/PDP yang meninggal sesuai dengan panduan WHO” tegas Irma.

    Kemudian juga, kapasitas layanan kesehatan, termasuk rumah sakit dan tenaga kesehatan, harus dipersiapkan dengan baik dan hal ini harus disampaikan secara terbuka kepada masyarakat, agar ada jaminan keamanan jika nantinya wabah kembali meningkat. Terkait hal ini, pemerintah juga harus memastikan ketersediaan alat pengaman diri yang sesuai standar kepada para tenaga kesehatan yang bertugas di garis depan.

    Menurut Irma, penerapan tatanan kehidupan baru atau ‘New Normal’ hendaknya dilakukan sinergi dengan Permenkes No. 9 Tahun 2020 tentang PSBB. Dalam Permenkes terssebut mensyaratkan evaluasi pelaksanaan PSBB harus merujuk pada kurva epidemi serta pertimbangan sosial, ekonomi, dan lainnya.

    Dengan demikian pengambilan kebijakan penerapan New Normal semestinya melibatkan para pakar epidemiolog, sosiolog, dan ekonom berdasarkan data dan bukti di lapangan. Masyarakat harus dilibatkan dan dipersiapkan dengan baik sebelum memasuki era normal baru, sebagaimana disyaratkan WHO.

    “Untuk itu, transparansi data dan informasi menjadi sangat penting, terutama guna memulihkan kepercayaan publik,” ungkap Irma.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here