Bagaimana Anda bisa membuktikan pernyataan deklaratif (proposisi) benar atau salah, bila subyeknya tidak diketahui atau tidak bisa diidentifikasi dengan jelas? Jawab: gunakan kalkulus predikat atau biasa dikenal juga sebagai logika predikat. Misalnya proposisi berikut ini:
“Ada seorang ibu bagi semua manusia di bumi.”
Bila menggunakan kalkulus predikat, proposisi di atas akan ditulis sebagai berikut:
Diketahui:
S = Semesta pembicaraan adalah semua manusia di bumi saat ini.
x = Ibu
y = Anak-anak dari x
z = Manusia di bumi
⇒ = Implikasi (maka)
∀ = Kuantor universal (semua)
∃ = Kuantor eksistensial (beberapa atau satu hal)
Proposisi:
M(x,y) = x melahirkan y
P(y,z) = y adalah z
T(x,z) = x melahirkan z
Maka proposisi kalkalus predikatnya akan ditulis begini:
(∃x) (∀y) (∀z) ((M(x, y) ⇒ P(y, z))
atau
(∃x) (∀z) T(x,z)
Pembuktian Proposisi:
1. Proof (bukti) Menggunakan Kalkulus Predikat
Bila Anda hendak membuktikan proposisi di atas dengan menggunakan kalkulus predikat, maka Anda mesti mencari keberadaan “seorang ibu” (∃x) yang melahirkan semua anaknya (∀y) dan semua anaknya itu adalah “semua manusia di bumi” (∀z) pada saat ini (S). Dengan kata lain: “x adalah ibu dari semua manusia di bumi” atau bila hendak ditulis dalam proposisi kalkulus predikat akan menjadi (∃x) (∀z) T(x,z). Proposisi kalkulus predikat tersebut terbukti salah karena tak ada seorang pun ibu atau (∃x) yang akan menyebabkan fungsi T(x,z) benar pada semua z di dalam semesta pembicaraan (S).
2. Proof (bukti) Menggunakan Logika Proposisional
Pada proposisi majemuk M(x, y) ⇒ Z(y, z), hipotesis Z selalu terbukti salah, karena tidak benar anak-anak dari x adalah semua manusia di bumi saat ini. Di dalam prinsip koherensi teoritik pada tabel kebenaran dari logika proposisional, sebuah proposisi majemuk yang menggunakan operator implikasi akan terbukti salah bila dan hanya bila konsekuennya (akibat atau efek) terbukti salah.
Begini saya telah membuktikan bahwa logika konsekuensi pragmatik dari Charles Sanders Peirce bisa keliru: “Satu ide yang membawa akibat atau manfaat bagi orang banyak, belum tentu benar.” Dengan kata lain, ide yang disepakati oleh mayoritas penerima manfaat, yang populer, belum tentu benar.
Problem sosial akan benar-benar menjadi absurd ketika sebuah patafora (yang berakar pada metafora, bukan realitas inderawi atau material), tiba-tiba bisa menyebabkan konflik dari masa ke masa–menyebabkan peperangan dan genosida. Ketika Charles Sanders Peirce, temasuk para pemikir aliran pragmatis sesudahnya, mencoba mencari landasan logis bagi keberadaan seluruh imajinasi (patafora) dari “sistem keyakinan” manusia tidak di dalam realita yang bisa diverifikasi (prinsip korespondensi) dan tidak juga di dalam prinsip koherensi teoritik, tetapi di dalam konsekuen dari satu implikasi logis, dari akibat yang berguna bagi banyak orang, maka yang terjadi kemudian adalah penyangkalan terhadap prinsip korespondensi dan prinsip koherensi. Saya pikir itu adalah satu kekonyolan yang, mungkin, tak diduga oleh Charles Sanders Peirce sebagai bapak filsafat pragmatisme sendiri. Misalnya, sebuah gagasan terkait kebijakan politik genosida atau proxy war di satu negara di Asia Tenggara atau Afrika atau Timur Tengah bisa dibenarkan asalkan bisa memberi manfaat bagi mayoritas rakyat di Amerika Serikat. Konyol tidak? Mungkin tidak konyol bagi masyarakat yang tinggal di Amerika Serikat, tetapi bagaimana dengan masyarakat yang tinggal di suatu negara di Asia Tengggara atau di Afrika atau di Timur Tengah, yang menjadi korban dari satu kebijakan politik genosida atau proxy war.
Akibat (konsekuen) dari satu proposisi yang menggunakan operator implikasi lebih merupakan sebuah hipotesis yang mesti dibuktikan kebenarannya dengan uji prinsip korespondensi. Jadi, menurut saya, agak aneh ketika Charles Sanders Peirce justru menggunakan “akibat” atau efek dari satu ide sebagai landasan bagi kebenaran ide tersebut. Sebuah imajinasi (patafora), di dalam kriteria kebenaran pragmatisme, dapat menjadi kebenaran jika dan hanya jika memberi manfaat kepada banyak orang. Dan ketika tak lagi memberikan manfaat, malah menjadi mudarat, maka kebenaran dari imajinasi (patafora) itu pun berubah menjadi kesalahan. Kebenaran satu ide yang diukur dari kemanfaatan populisnya di dalam sistem kebenaran pragmatisme merupakan gagasan konyol. Jika genosida adalah satu fakta peristiwa yang bisa diuji kebenarannya dalam konteks prinsip korespondensi, maka dalam konteks pragmatik satu tindakan atau ide genosida bisa diubah menjadi berkah dengan sebuah rekayasa anteseden (sebab), misalnya dengan menyebarkan isu bahwa kaum yang akan atau telah dibantai itu adalah kaum yang akan membantai kaum mayoritas sehingga kaum mayoritas yang tidak tahu fakta sebenarnya bisa menerima genosida tersebut sebagai tindakan atau gagasan logis, karena akibat (konsekuen) dari genosida tersebut akan menyelamatkan kehidupan kaum mayoritas.
Klaim kemanfaatan satu ide terhadap mayoritas di dalam pragmatisme juga lebih merupakan sebuah imajinasi, sebuah patafora, ketimbang sebuah fakta atau kasus. Sebuah survey politik, misalnya, lebih merupakan sebuah landasan imajinatif bagi para politisi untuk melakukan tindakan politik, ketimbang sebuah pertimbangan teoritik atau faktawi yang bisa diuji secara logis.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>