Ilustrasi / Health.mil
Terapi plasma darah atau terapi konvalesen (convalescent) digadang-gadang menjadi salah satu alternatif pengobatan pasien positif Covid-19 di sejumlah negara. Selama ini terapi plasma darah telah lama digunakan untuk mengobati penyakit inveksi.
Dapatkan terapi plasma darah mengobati Covid-19?
Dalam laporan UGM, dr. Sumardi, Sp.PD,KP., FINASIM., ahli Penyakit Dalam Spesialis Paru-Paru (Internis Pulmonologist) FKKMK UGM menjelaskan, dalam pengobatan Covid-19, terapi dilakukan dengan menggunakan darah pasien Covid-19 yan sudah sembuh. Plasma darah yang telah memiliki antibodi tersebut kemudian ditransfusikan ke pasien Covid-19 yang masih sakit.
Metode ini sebelumnya digunakan saat pandemi flu Spanyol pada tahun 1900-an. Kemudian digunakan juga untuk pengobatan difteri, flu burung, flu babi, ebola, SARS, dan MERS.
“Jadi, plasma darah yang mengandung antibodi dari pasien yang sembuh diberikan pada orang-orang yang masih sakit,”jelasnya.
Masih Untuk Uji Klinis
Meski terapi plasma darah telah lama digunakan untuk berbagai penyakit inveksi, sebagai pengobatan Covid-19, terapi ini masih terbatas untuk uji klinik di berbagai negara, termasuk Indonesia. Keberhasilannya pun terbatas pada pasien yang jumlahnya sedikit.
Seperti di Rumah Sakit, Shenzhen China, menurut Sumardi, pada terapi yang dilakukan pada 5 pasien Covid-19 dengan alat bantu pernafasan/ventilator, dilaporkan dapat mempercepatan penyembuhan 1 orang pasien. Sementara 3 lainnya menunjukkan proses penyembuhan yang tergolong lambat dan 1 orang meninggal dunia.
Namun begitu, lanjut Sumardi, terapi ini memiliki syarat-syarat khusus. Salah satunya, pendonor merupakan pasien positif Covid-19 yang telah dinyatakan sembuh. Berikutnya, pendonor harus terbukti memiliki antibodi terhadap Covid-19 dalam kadar yang cukup.
“Plasma yang diambil sekitar 400 milimeter dengan memakai metode plasmapheresis yakni hanya mengambil plasma dari sel darah merah saja. Pemberian plasma darah ini sebanyak 2 kali sehari pada pasien Covid-19,” terangnya.
Selain itu, pendonor yang merupakan pasien Covid-19 berjenis kelamin laki-laki. Hal itu karena, laki-laki tidak memiliki antigen HLA yang dapat menimbulkan reaksi atau masalah bagi penerima donor.
Syarat lainnya adalah, terapi plasma konvaselen tidak diberikan kepada semua pasien positif Covid-19. Terapi ini hanya diberikan untuk pasien dengan gejala berat atau kondisi kritis.[]
“Diberikan pada pasien dengan gejala berat untuk membantu mempercepat penyembuhan, bukan untuk pencegahan. Namun, terapi plasma konvaselen ini menjadi alternatif pengobatan hingga ditemukan vaksin,” pungkasnya.