Oleh : M. Indre Wanof
Indonesia merupakan bangsa yang besar dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama, dan golongan yang berbeda-beda. Menurut Badan Bahasa Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat, bahwa Indonesia setidaknya memiliki 718 ragam bahasa daerah yang dulunya dipakai sebagai bahasa sehari-hari rakyat Indonesia. Oleh karenanya untuk mempersatukan keragaman bahasa tersebut lahirlah bahasa Indonesia dimana ia berfungsi sebagai elemen perekat, penghubung antar sosial bangsa di tengah perbedaan. Dengan demikian bahasa Indonesia ialah bahasa negara, bahasa persatuan. Sebagaimana kedudukannya seperti yang telah digaungkan dalam UUD 1945 pasal 36 bab XV. Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional, bahasa resmi yang diajarkan dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
Jika peran bahasa Indonesia ialah sebagai pemersatu sesuai dengan ikrar sumpah pemuda sekaligus jati diri bangsa. Lain halnya dengan bahasa daerah. Bahasa daerah ialah peninggalan nenek moyang terdahulu, sebuat aset yang harus kita jaga eksistensinya. Bahasa daerah kaidahnya sangat penting sebagai identitas suku rakyat Indonesia, yang tentunya harus dilestarikan untuk menjaga martabat suatu bangsa. Karena bangsa yang besar ialah bangsa yang tidak melupakan sejarah dan kebudayaanya. Disamping bahasa daerah yang harus terus kita lestarikan, dan bahasa Indonesia yang harus kita jaga, di sisi lain, masuknya bahasa asing harus kita perhatikan dampaknya terhadap keseimbangan peran dalam berbahasa agar tatap selaras.
Di abad 20 seperti sekarang atau yang biasanya juga dikenal sebagai era globalisasi, revolusi industri 4.0 dan disrupsi mendesak kita mau tidak mau harus menguasai bahasa asing jika tidak ingin di kucilkan dan kalah bersaing dalam mengejar karir. Bagi generasi 90 an atau yang dikenal dengan generasi millenial sudah sadar betul bahwa bahasa Inggris adalah bahasa asing penting yang harus dipelajari. Masuknya bahasa asing di bumi pertiwi cukup banyak mengubah gaya berbicara masyarakat. Para generasi millenial merasa bahwa bercakap menggunakan bahasa Inggris terdengar jauh lebih keren, gaul, dan terdengar lebih berintelek. Contohnya banyak kawan-kawan kita yang mulai menggunakan code maxing atau campur kode dimana penggunaan bahasa Indonesia di campur dengan bahasa Inggris hal ini berdampak pada terkikisnya bahasa Indonesia, dalam tulisan Putu Sulistyawati di Tatkala.co juga pernah menyinggung fenomena ini. Memang tak bisa di pungkiri bahasa Inggris adalah bahasa internasional, bahasa dunia yang harus di kuasai seabagai bekal berkarir karena bahasa Inggris adalah bahasa ilmu yang jika di kuasai akan terbantu memahami ilmu dunia, serta memperbanyak relasi dari berbagai macam negara.
Namun perlu di garis bawahi bahwa kita sebagai pemuda Indonesia tidak boleh menempatkan bahasa Inggris sebagai kedudukan paling tinggi dibandingkan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Kita harus menyikapi dan bijak dalam menempatkan peran bahasa tersebut. Disinilah tantangan kita sebagai penerus bangsa dipertaruhkan.
Pemuda ialah tonggak masa depan, sang penerus bangsa. Peran kita sebagai pemuda harusnya menjadi suri teladan bagi masyarakat dan generasi selanjutnya dalam merawat bahasa negara. Bahasa Indonesia harus diutamakan dan bernilai tinggi di bangsa sendiri. Bukannya berlomba-lomba agar terlihat kebaratan agar terlihat lebih gaul dan intelek. Bahasa Indonesia harus menjadi tuan di negara sendiri. Jika ada orang asing yang berkunjung di Indonesia mereka harus belajar bahasa Indonesia, bila kita mengunjungi negara asing maka kita harus mempelajari bahasanya. Kita harus bisa memilah dan bijak kapan harus bercakap bahasa Inggris yang sesuai kondisi dan situasi. Salah besar jika beranggapan bercakap bahasa Inggris akan terlihat makin berintelek. Menurut Laula Halliday dalam artikel mojok.co mengatakan bahwa fenomena tersebut dinamakan Linguistic Racism yaitu merujuk pada orang-orang yang memiliki kemungkinan merendahkan orang lain dari bahasanya. Maksudnya individu yang bercakap bahasa Inggris dinilai jauh lebih berintelek daripada invidu lain yang berbicara bahasa Indonesia dan bahasa Daerah. Hal ini jelas keliru. Dilain itu kita harus terus melestarikan bahasa daerah, akan lebih baik jika penggunaan bahasa Indonesia dibarengi dengan bahasa daerah daripada menggunakan bahasa Inggris.
Fenomena ini mengingatkan saya akan kisah pewayangan yakni Tetuka, si bayi raksasa anak dari Bima dan Hidimbi yang digembleng ke dalam kawah Candragohmukha oleh Batara Guru. Setelah keluar dari kawah, ia lebih dikenal sebagai Gatotkaca si manusia sakti dengan tulang besi, otot kawat, bisa terbang seperti pesawat jet. Atau tentang anak dari Durga dan Deswarani yang dibuang oleh Brama ke dalam kawah Candragokmukha setelahnya bukan malah menjadi sakti tapi menjadi racun api yang dinamai Wisanggeni. Disini kawah Candragohmukha diibaratkan sebagai kita para pemuda sedangkan nasib bahasa Indonesia dan daerah ada di tangan kita entah akan menjadi Gatotkaca yang berjaya di negeri sendiri dan akan terus lestari atau malah punah dan hanya tinggal sebuah sejarah karena hilang ditelan bahasa asing yang masuk dalam negeri.
Menyadari bahwa adanya beberapa permasalahan dalam menjaga dan melestarikan Bahasa Indonesia dan bahasa daerah di tengah pentingnya juga penguasaan dalam bahasa asing. Duta Bahasa adalah salah satu bentuk usaha mengajak para pemuda di Indonesia untuk bersama-sama menyatukan ide dialogis agar mampu menempa ketiga kepentingan bahasa tersebut. Meningkatkan frekuensi bercakap bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam setiap kesempatan. Menggunakan bahasa asing sesuai porsi dan kebutuhannya. Serta bersama-sama menjadi penggerak literasi nasional untuk memperkuat jati diri dan daya saing bangsa. Kami para pemuda memang tidak memiliki pengalaman, tapi kami menjanjikan masa depan.
*Penulis adalah Pendiri Komunitas One Day, One Book.