DEPOK, KabarKampus – Dina Listiorini, Kandidat Doktor Fisip UI berhasil lulus dengan predikat sangat memuaskan dalam sidang terbuka Promosi Doktor Ilmu Komunikasi yang berlangsung pada hari Jumat, (04/12/2020). Dina menyampaikan penelitian disertasinya dengan judul “Rezim Kebenaran Media dalam Kepanikan Moral (Diskursus Foucauldian dalam Gelar Wicara Televisi dan Berita Daring 2016-2018)”.
Promotor Dina adalah Prof. Dr. Billy Sarwono, M.A. dengan Kopromotor Dr. Donna Asteria, M.Hum dan Irwan M. Hidayana, M.A., Ph.D. Kemudian penguji dalam sidang ini adalah Sharyn Graham Davies, PhD (Monash University), Prof. Alois Agus Nugroho, Ph.D. (Atma Jaya Jakarta), juga Prof. Dr. Ilya R. Sunarwinadi, Dr. Ade Armando, M.S., dan Endah Triastuti, M.Si., Ph.D dari UI dengan diketuai oleh Prof. Dr. Dody Prayogo.
Penelitian Dina menjelaskan terbentuknya sebuah rezim kebenaran media melalui praktik kuasa dan kebenaran. Praktek tersebut dilakukan secara sistematik oleh industri media.
Dalam penelitiannya, Dina yang juga dosen Ilmu Komunikasi di FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menemukan bahwa baru di tahun 2016-2018 di Indonesia masa pasca Orde Baru, terjadi sebuah kepanikan moral seksual yang menyasar individu atau kelompok “LGBT”. Kasusnya bermula dari kasus administratif sebuah kelompok diskusi Support Group and Resource Centre on Sexuality (SGRC) di awal 2016.
Dari kasus tersebut muncul berbagai berita satu sisi dipenuhi ujaran kebencian yang ditujukan pada individu atau kelompok dengan keragaman gender dan seksual non-normatif. Media menyebut mereka sebagai “LGBT”.
Sementara pada masa Orde Baru, Dina menemukan, berita media mengenai “LGBT” tidak diletakkan pada kemarahan atau ujaran kebencian. Kemudian pasca Orde Baru, selama tiga tahun tersebut media massa baik konvensional atau daring menghujani kelompok “LGBT” ini dengan berita satu sisi yang berisi stigma, marginalisasi dan upaya kriminalisasi.
Pernyataan-pernyataan keras penolakan “LGBT” terutama berasal dari pemerintah seperti para pejabat publik kementrian hingga komisi-komisi negara, politisi DPR-MPR, akademisi, tokoh masyarakat, ormas agama dan tokoh agama lainnya. Suara komunitas “LGBT” nyaris tidak terdengar selama 3 tahun tersebut.
Menurut Dina, dalam kepanikan moral seperti kepanikan moral seksualitas seperti yang terjadi pada 2016-2018, media berperan penting dengan membangun narasi ketakutan. Bentuknya adalah dengan mempromosikan kekacauan dan keyakinan adanya “hal-hal di luar kendali.”
Diskursus ketakutan dibangun melalui berita dan berbagai bentuk budaya populer.
Konstruksi moralitas dalam kepanikan moral seksual menjadi prioritas utama terpenting.
Dalam hal ini kelompok yang memutuskan seksualitas seperti apa yang dianggap “baik” atau “buruk” memiliki kekuatan resmi dan selalu bersanding dengan struktur kekuasaan.
Kesimpulan penelitian Dina ini antara lain, bahwa rezim kebenaran media tahun 2016-2018 yang diproduksi dalam jaringan kuasa dan pengetahuan adalah rezim kebenaran media homofobik. Rezim ini dibangun melalui tiga peminggiran terhadap “LGBT” dalam proses produksi berita yaitu peminggiran secara ekonomi, secara politik, dan sosial dan budaya.
Kepanikan moral yang terbentuk melalui relasi kuasa dan pengetahuan harus terjadi untuk melanggengkan diskursus heteronormatif. Proses melanggengkan membutuhkan pendisiplinan.
Media menjadi salah satu “agen” negara yang menjaga moral sekaligus mendisiplinkan seksualitas warga negara. Kepanikan moral menjadi metode pengendalian sosial masyarakat melalui disiplin kebertubuhan. Kepanikan moral yang homofobik, menyebarkan rasa takut dan ancaman adalah salah satu metode kuasa heteronormatif untuk melakukan penundukan seksualitas
manusia: tubuh yang patuh.
Dalam rezim kebenaran media homofobik tersebut, muncul kegiatan pelatihan bagi jurnalis mulai dari jurnalis lapangan, calon jurnalis dan jurnalis tingkat editor hingga redaktur. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk).
“Kegiatan pelatihan jurnalis yang dilakukan AJI dan Sejuk adalah kuasa alternatif. Dalam kegiatan itu mempertemukan komunitas “LGBT” dengan pihak media. Hal ini sesungguhnya merupakan perlawanan terhadap keberadaan kuasa dan pengetahuan heteronormatif yang didukung oleh sebuah rezim moral. Rezim moral ini terdiri dari rezim heteronormatif, rezim Islam konservatif dan rezim pembungkaman pendidikan seks yang komprehensif,” kata Dina dalam kesimpulannya.[]