Dulu kala, negara negara Eropa itu berada di bawah sistem monarki yang feodalistik. Dipimpin oleh raja-raja yang berkuasa penuh. Namun perlahan-lahan, kekuasaan feodalisme ini mulai dirongrong oleh para merkantilis, para pedagang.
Para merkantilist mulai kendalikan raja-raja dan kaum bangsawan melalui sogokan yang memabukkan. Sehingga mereka mendapat hak istimewa dalam mengeruk untung lebih banyak.
Para merkantilis dengan kekuatan modalnya yang semakin akumulatif akhirnya semakin memperkuat kedudukan kekuasaan mereka. Mereka juga membiayai berbagai penemuan teknologi baru. Seperti mesin uap, mesin pintal, dan lain sebagainya.
Dari berbagai temuan teknologi industri menjadikan para merkantilis itu berkembang menjadi kapitalis industri. Mereka dirikan pabrik-pabrik.
Pabrik-pabrik itu memproduksi barang secara massal. Manusia digantikan dengan mesin untuk mencapai efisiensi demi keuntungan yang tinggi.
Perangai para borjuasi kapitalis pabrikan yang memperlakukan para buruhnya dengan sangat buruk secara kemanusiaan telah lahirkan masalah sosial yang parah terhadap hidup para buruh dan petani. Para buruh atau kaum proletar akhirnya memberontak.
Ide-ide pembaharuan sosial terutama sosialisme ditawarkan dimana-mana. Ada yang menuntut diterapkanya sosialisme komunisme, fasisme, sosialisme demokratik, dan lain-lain.
Gereja Katolik sebagai institusi tua yang sangat berpengaruh juga mengambil inisiatif pembaharuan. Paus Leo XIII dalam ensikliknya yang terkenal Rerum Novarum (Revolusi Baru) keluarkan gagasan untuk memoderasi keadaan dengan konsep welfare state, atau negara kesejahteraan. Dimana negara diharapkan berperan aktif menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ditimbulkan.
Kapitalisme industri akhirnya tetap langgeng, dan mereka terus memperluas jajahan. Mereka membangun kekuasaan imperiumnya dan berubah menjadi imperialis yang menindas bangsa-bangsa lain. Mereka menjadikan daerah koloni atau jajahan untuk dieksploitasi sumberdaya alamnya dan tenaganya demi kemakmuran mereka.
Mereka juga membiayai ekspedisi untuk mencari bahan bahan baku serta barang-barang lain yang dapat diperdagangkan. Mereka dengan sokongan kekuatan militernya akhirnya berhasil mengkolonialialisasi bangsa lain, termasuk kerajaan-kerajaan di Indonesia di masa lalu.
Balanda di Indonesia terutama, mereka menguasai seluruhnya, politik, ekonomi dan sosial. Mereka menyusun kekuasaan hirarkhis dengan memanfaatkan kekuasaan para raja dan bangsawan.
Jika feodalisme di negara eropa itu berhasil dihancurkan kekuasaanya oleh para kapitalis, di Indonesia walaupun sudah jadi negara berdaulat dan merdeka, kekuatan feodalisme yang ada justru dimanfaatkan untuk kuasai bangsa dan negara kita. Bahkam sampai dengan kapitalisme imperialis tingkat mutakhir saat ini. Kapitalis keuangan dan ekonomi digital.
Indonesia, sebagai negeri bekas kolonialisasi bangsa eropa ini, tetap saja berada dalam cengkeram mereka. Seluruh sifat-sifat dari penjajah atau imperialis itu langgeng di era sekarang ini. Feodalisme itu bahkan telah mengeras bersama birokrasi dan menjadi sistem patrimonialisme.
Para kolonialis dan imperialis itu tetap menancapkan sistem kuasa politiknya melalui pemerintah, dan aparatusnya yang kita bayar dengan pajak. Sehingga dapat kita lihat hasilnya, rakyat banyak nasibnya tetap berada di bawah kungkungan para feodalist, kapitalist nasional, dan intelektuil pukrul antek-anteknya.
Kolonialisme itu bekerja dengan mencengkeram kuat sendi-sendi ekonomi kita. Mereka masuk dan mencengkeram kita melalui pintu masuk utang yang disuntikkan ketika kita alami krisis konjungtural. Ini terbukti dengan ditolaknya proposal Profesor Jan Timbergen kepada negara maju untuk hapus utang-utang negara miskin dan berkembang.
Proposal yang diusulkan pada tahun 1980 an oleh penerima Nobel ekonomi itu konsepnya sederhana, dengan hanya alokasikan 0,7 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) dari negara-negara maju secara berangsur maka utang-utang negara miskin dan berkembang itu akan lunas. Menurutnya, dengan hapusnya utang mereka maka barulah akan dapat membangun dengan kemauan mereka sendiri untuk lepaskan diri dari kemiskinan permanen.
Tapi negara-negara maju itu paham, sekecil apapun utang itu instrumen penting untuk mereka masuk dan tetap kuasai negara-negara miskin dan berkembang termasuk Indonesia. Mereka ternyata tetap ingin menjajah kita dengan kekuatan ekonomi mereka.
Pemberian utang itu dikomitmenkan, hanya boleh difokuskan terutama untuk bangun infrastruktur yang penting untuk perlancar investasi negara maju, terutama di sektor keuangan dan komoditas ekstraktif seperti tambang dan energi.
Dampak yang muncul akhirnya fiskal kita jadi terus terbebani utang yang sudah dalam posisi akut karena untuk bayar utang dan bunganya terpaksa kita harus menambah utang. Posisinya gali lobang buat jurang.
Komoditi ekstraktif yang harganya dikendalikan oleh pasar oligopoli internasional juga akhirnya menjadikan nilai tambah ekonomi kita semakin kecil. Sementara penggunaan tanah besar-besaran untuk usaha tambang dan perkebunan tak hanya sebabkan kerusakan lingkungan, tapi juga penyerobotan tanah tanah rakyat. Sehingga per kapita penguasaan lahan kita akhirnya terus menurun dan jadikan profesi petani kita sebagai petani gurem dan hanya sebagai buruh tani hingga 74 persen.
Pada tahun 1980, hasil Susenas penguasaan lahan kita per kapita masih 1,05 ha. Susenas tahun 2020 hasilnya menurun drastis tinggal 0,33 ha. Akhirnya kita terjebak pada ketergantungan pada importasi pangan.
Sebagaimana kita ketahui, pertumbuhan ekonomi kita itu selama ini tergantung pada sektor konsumsi 60 hingga 70 persen. Ketergantungan yang tinggi pada importasi pangan kita akhirnya tak hanya menyedot kebutuhan devisa kita, tapi juga menjadi sangat rawan terhadap bayang-bayang inflasi.
Sementara itu, nilai tambah ekonomi kita di sektor tertier atau keuangan juga banyak disedot oleh kuasa kepemilikan asing melalui liberalisasi investasi di sektor perbankan kita yang biarkan jadi terliar di dunia dengan biarkan investasi asing bisa masuk kuasai sektor perbankkan kita hingga 99 persen. Tak hanya dalam skema investasi, tapi rezim moneter kita yang terus pertahankan suku bunga acuan yang cukup tinggi telah sedot berbagai keuntungan di sektor riil kita.
Di dunia ekonomi digital kita, Investasi asing juga telah kuasai basis platform kita dan termasuk penguasaan ekstraksi data kita yang dibiarkan liar tanpa tahanan. Mereka juga telah banjiri market place kita dengan produk-produk asing hingga 90 persen lebih. Termasuk dalam masalah payment systemnya.
Untuk itulah akhirnya struktur sosial ekonomi masyarakat kita akhirnya tidak pernah berubah dari sejak jaman kolonial. Betapapun kita sudah jadi bangsa merdeka. Lapisan masyarakat kita lebih banyak berada dalam posisi hidup miskin papa dan hanya segelintir elit kaya menjadi terlalu kaya.
Kapitalisme dan imperialisme hingga hari ini tetap mengekang bangsa ini. Dikarenakan ruang-ruang hidup rakyat banyak kita itu telah dikuasai dan diserobot oleh kekuatan kapitalis nasional yang berjalin kelindan dengan kekuatan kapitalis global maka masyarakat kita akhirnya dalam posisi yang lemah dan untuk pertahankan hidupnya semakin sulit dengan bersaing hingga berdarah-darah dengan tetangga dan sanak familinya.
Secara de facto, akhirnya urusan politik maupun ekonomi kita berada dalam cengkeram kapitalis global, yang berjalin kelindan dengan kapitalis nasional dan para birokrat feodal dan intelektuil gadungan antek-antek mereka. Masyarakat kita menjadi begitu mudah dibelah-belah, terfragementasi sehingga terus begitu mudah untuk dieksploitasi.
Pemilu yang disebut sebagai pesta demokrasi sebetulnya hanya gambarkan pola kebijakan politik ultra liberal tak hasilkan pembaharuan dan perbaikan nasib rakyat banyak, namun justru perkuat kekuatan oligarkhi dan plutokrasi.
Elit politik dan elit kaya kawin-mawin dan hasilkan satu rezim baru yang disebut Plutogarki. Rezim yang anti demokrasi. Semakin kukuh dan tak tersentuh. Mensabotase seluruh kepentingan dan kedaulatan rakyat.
Jakarta, 6 Juli 2022
Suroto
Ketua AKSES