Hari ini, istana kepresidenan Sri Lanka diduduki oleh rakyat. Diduduki dalam arti secara harfiah. Mereka seperti sedang merayakan kemerdekaan sebagai jelata di gedung istana.
Foto-foto dan vedionya yang banyak beredar perlihatkan rakyat secara beramai-ramai tidur di kamar Presiden. Mereka mandi di kolam renang dan kamar mandi Presiden. Duduk di singgasana Presiden.
Seluruh istana telah diduduki rakyat jelata dan Pasukan Pengaman Istana sudah tidak punya lagi kekuatan untuk mengamankan. Perangkat negara kolaps.
Kenapa semua itu terjadi?. Sebabnya rakyat Sri Lanka banyak yang sudah dalam posisi lapar dan marah pada pemerintah. Mereka banyak yang makan hanya sehari sekali dan anggap pemerintah telah gagal jaga kepentingan perut mereka.
Inflasi tiba-tiba meluncur tak terkendali. Makanan dan minuman tak terbeli oleh rakyat kebanyakan. Rakyat murka karena pemerintah dianggap tak becus mengurus negara.
Awalnya Utang
Awal dari masalah tersebut sebetulnya adalah utang. Dikarenakan utang negara yang tak terkendali. China serta Jepang sebagai kreditor besar dari utang Sri Lanka tidak mau lagi menerima penjadwalan pembayaran utang kembali ketika kondisi fiskal negara tersebut tak lagi sanggup membayar utang.
Pemerintah Sri Lanka selama ini telah mengadopsi sistem negara kesejahteraan (welfare state) secara membabi buta. Para aktifis sosial, akademisi dan para politisinya berusaha mendorong diterapkanya konsep Negara Kesejahteraan tersebut.
Mereka awalnya menuntut agar negara hadir untuk berikan program kesehatan gratis, sekolah gratis hingga perguruan tinggi, dana pensiun serta berbagai program subsidi.
Rakyat jelata di Sri Lanka menjadi begitu girang dengan berbagai program gratisan dan bantuan tersebut. Mereka tidak peduli akan dibayar dari mana seluruh biaya program itu. Toh kelak jika pemerintah tak mampu bayar utang negara, yang akan bayar adalah pemerintah, bukan mereka.
Mereka tidak membayangkan kalau akhirnya semua itu harus mereka bayar dengan bencana kelaparan hebat, hancurnya ekonomi keluarga, dan juga hancurnya seluruh sendi sendi berbangsa dan bernegara. Mereka tidak menyangka jika akhirnya masuk menjadi negara gagal.
Beban fiskal yang besar untuk biaya sosial itu posisikan fiskal Sri Lanka dalam posisi keuanganya sangat sulit. Bukan hanya gali lobang tutup lobang, tapi gali lobang buat jurang. Artinya untuk membayar angsuran pokok utang dan bunganya harus berhutang dikarenakan pendapatan dari negara terutama dari pajak tak terpenuhi (shortfall).
Setiap tahun pengeluaran pemerintah selalu alami defisit neraca pembayaran. Dalam simulasi anggarannya, setiap tahun utang harus bertambah karena kalau tidak maka biaya rutin dan pembangunan tidak terpenuhi. Sehingga pada ujungnya negara Sri Lanka dalam posisi benar-benar tak sanggup membayar utang.
Komitmen membayar utang yang tidak berjalan akibatkan negara kreditor tentu akhirnya terapkan sanksi. Memutuskan usaha-usaha kerjasama perdagangan dan lain-lain. Sementara dana cadangannya hanya habis dalam beberapa bulan untuk biayai import barang kebutuhan makanan dan minuman.
Pengeluaran pemerintah sebagai stimulan pembangunan mandeg. Barang-barang harganya mulai merangkak naik. Masuklah kondisi stagflasi. Pertumbuhan ekonominya terkoreksi dan inflasi membumbung tinggi. Rakyat menjerit dan mengamuk. Pengangguran dan kemiskinan meningkat.
Untuk Indonesia
Perilaku sebagian elit politik, yang didukung akademisi, aktifis sosial yang ada di Indonesia yang kita lihat sama seperti yang ada di Sri Lanka. Ramai-ramai sekarang buat slogan yang sama; Menuju Negara Kesejahteraan (welfare state).
Demi elektabilitas diri dan partainya, para politisi itu kembangkan juga isu program yang sama seperti yang dilakukan para politisi di Sri Lanka. Sehingga gejalanya juga sudah terlihat sama seperti saat sebelum Sri Lanka gagal bayar dan terpuruk.
Kita saat ini sepertinya masuk dalam jebakkan ekonomi yang sama. Utang ugal-ugalan dan tempatkan posisi fiskal kita juga sama dengan Sri Lanka, gali lobang buat jurang. Angsuran dan bunganya juga harus dibayar dengan utang baru sehingga utang kita terus meningkat.
Untuk mencari legitimasi rakyat, dikampanyekan dengan informasi yang menyesatkan. Utang bukan dibandingkan dengan kemampuan membayarnya tapi dengan rasio Produk Domestik Bruto (PDB).
Melihat perangai pejabat dan elit politik kita saat ini, semoga kita tidak jatuh jadi negara gagal seperti Sri Lanka. Semoga rakyat Indonesia segera banyak yang menyadari jika utang negara itu tidak main-main konsekwensinya.
Jakarta, 12 Juli 2022
Suroto
Ketua AKSES