Struktur sosial ekonomi kita dari sejak jaman kolonial Belanda hingga saat ini ternyata tidak pernah berubah. Begitu juga strategi kebijakan ekonomi yang diterapkan.
Rakyat pribumi di masa penjajahan Belanda itu hidup dalam sistem ekonomi mikro pertanian dan perdagangan kelas gurem, lemah dan serabutan. Sementara, sebagian lagi segelintir elit kayanya kuasai perdagangan dan perkebunan kelas menengah ke atas. J.H Booke menyebutnya sebagai sistem ekonomi dualistik.
Hingga hari ini ternyata struktur ekonomi Indonesia tetap sama. Pelaku ekonomi kita ternyata 99,9 persen atau 64 juta hidupnya bergantung dari usaha skala mikro kelas gurem dan usaha kecil yang hanya kuasai ekonomi kurang lebih 18 persen. Sisanya adalah 0,1 persen terdiri dari usaha menengah dan besar yang kuasai hingga 82 an persen ekonomi kita.
Akibatnya, dalam kepemilikan kekayaan, jika dibandingkan dengan rata-rata dunia, dari 83 persen orang dewasa Indonesia ternyata hanya miliki kekayaan di bawah 150 juta rupiah. Sementara rata rata dunia adalah hanya 58 persen. Orang dewasa yang memiliki kekayaan di atas 1,5 milyard ternyata hanya 1,1 persen dan rata rata dunia adalah 10,6 persen (Suissie Credit, 2021).
Kesenjangan sosial ekonomi di atas tentu tidak lepas dari sistem serta strategi kebijakan politik ekonomi yang dijalankan. Walaupun konstitusi kita menganut sistem demokrasi ekonomi, sistem ekonomi yang seharusnya tempatkan rakyat sebagai subyek atau pemilik serta penguasa berdaulat atas sumber-sumber ekonomi dan penghidupanya, ternyata politik ekonomi kita itu tetap langgengkan sistem ekonomi kolonial.
Para kapitalis global dari negara kapitalis pusat itu tetap memanfaatkan segelintir elit feodalist dan elit kaya nasional dalam struktur masyarakat kita untuk cengkeram dan eksploitasi sumber sumber ekonomi rakyat.
Sistem pertambangan dan perkebunan monokultur milik asing yang ada di masa kolonial hari ini semakin masif. Investasi di sektor ini juga “secara paksa” lakukan penyerobotan tanah rakyat, penyingkiran masyarakat adat, jadikan rakyat hanya sebagai buruh kasar, dan rusak seluruh ekosistem alam.
Jika dulu para intelektuil kebangsaan Belanda mampu menghentikan perangai eksploitasi sistem tanam paksa pemerintah Hindia Belanda yang hanya berikan keuntungan bagi pemerintah Belanda, hari ini banyak di antara intelektuil kita justru berperilaku sebaliknya, menjadi pembela mati-matian sistem pertambangan dan perkebunan monokultur yang memiskinkan rakyat banyak tersebut.
Jika dahulu perusahaan-perusahaan asing itu diminta untuk bangun infrastruktur pendukung bagi investasi mereka, hari ini seluruh fiskal kita justru habis-habisan bangun proyek mega infrastruktur yang digunakan untuk eksploitasi ekonomi kita.
Bahkan fasilitas suprastrukturnya telah dibuat seliberal mungkin. Sebut misalnya UU Cipta Kerja, yang prosedur pembuatannya Inkonstitusional itu berikan karpet merah bagi semata-mata demi kepentingan pengerukan keuntungan investasi asing yang berjalin kelindan dengan elit kaya nasional kita.
Dalam sektor tertiernya juga, UU Penanaman Modal kita, di sektor keuangan itu dibebaskan menjadi yang terliar di dunia. Biarkan pemilikan asing hingga 99 persen. Bandingkan misalnya Malaysa yang hanya perkenankan hingga 17,5 persen, Amerika Serikat hanya 30 persen. Padahal, lembaga keuangan itu ibarat darah bagi ekonomi kita.
Di sektor ekonomi digital hari ini juga sama. Negara telah berada dalam cengkeram para angel investor asing yang kuasai sektor investasi digital kita tanpa ketahanan sedikitpun. Bisnis platform yang ada dikuasai oleh asing dari kepemilikannya. Liberalisasi penguasaan kepemilikan tersebut akhurnya telah biarkan asing kuasai data perilaku pasar kita. Sehingga market place kita isinya banjir produk import hingga kurang lebih 90 persen yang jelas akan terus gerus devisa kita.
Ekonomi Rakyat Telah Sekarat
Melihat kenyataan struktur ekonomi kita yang demikian, pada akhirnya, jika kita mendengar istilah ekonomi rakyat itu seakan konotasinya adalah usaha kelas gurem, serabutan, dalam posisi hidup segan mati sungkan.
Bentuk usaha ekonomi rakyat ini diidentikkan dengan usaha kaki lima kelilingan, industri kuliner kelas rumahan, hingga petani kelas gurem yang lahanya tak lebih dari seperempat hektar.
Rakyat bukan lagi menjadi subyek pembangunan namun justru hanya jadi obyek proyek ” pembina(sa)an”. Dijadikan sebagai obyek program pemerintah yang justru perkaya elit makelar programnya. Rakyat banyak ekonominya tetap tak berubah dari sejak jaman Kolonial Belanda.
Jika musim kampanye tiba, atau menjelang tahun politik seperti saat ini, maka banyak para elit politik yang mulai kampanye obral janji untuk bantu ekonomi rakyat jika mereka terpilih nanti.
Sistem pemerasan kolonialisme dan sistem tanam paksa sudah dihapuskan sejak kita proklamasikan Indonesia sebagai negara merdeka. Namun praktek ekonomi kita hari ini, ternyata belum tertransformasi sama sekali dan berikan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Rakyat yang harusnya berdaulat dan menikmati nilai tambah ekonominya juga dalam posisi marjinal dan tersingkir dan hidup dalam kemelaratan. Sementara elit kapitalis nasional yang berkongkalikong dengan elit politik kerjanya setiap hari terus jual sumberdaya alam kita, jadikan rakyat sebagai buruh murah dan jadikan kita sebagai pasaran produk import.
Jakarta, 13 Juli 2022
SUROTO
Ketua AKSES