Oleh: Lingga Prasetyo*

Sejak awal 2020, Indonesia resmi menghentikan ekspor bijih nikel mentah ke luar negeri. Langkah ini bukan tanpa alasan: pemerintah ingin meningkatkan nilai tambah sumber daya alam melalui hilirisasi industri—mengolah bahan mentah di dalam negeri sebelum dijual ke pasar global.
Namun, kebijakan ini langsung memicu ketegangan dengan Uni Eropa, salah satu konsumen utama nikel dunia. Tak lama, Indonesia digugat ke World Trade Organization (WTO), dan kalah. Tapi apa benar Indonesia salah?
Masalahnya: Siapa Diuntungkan dari Ekspor Bahan Mentah?
Sejak era kolonial, ekspor bahan mentah menjadi pola tetap perekonomian Indonesia. Negara-negara maju lebih memilih membeli nikel dalam bentuk mentah, karena jauh lebih murah dan bisa mereka olah sendiri menjadi produk bernilai tinggi.
Akibatnya, Indonesia yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia justru hanya mendapat sedikit manfaat. Tahun 2021 misalnya, kerugian akibat ekspor nikel mentah diperkirakan mencapai 1,5 triliun rupiah. Ini bukan angka kecil. Maka, kebijakan pelarangan ekspor adalah upaya negara untuk mengubah pola ketergantungan ini.
Hilirisasi dan Tantangan dari WTO
Lewat Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019, Indonesia mewajibkan pemurnian dan pengolahan nikel di dalam negeri. Tujuannya jelas: mendorong industri dalam negeri, menyerap tenaga kerja, menaikkan nilai ekspor, dan pada akhirnya—menyejahterakan rakyat.
Namun, Uni Eropa menilai kebijakan ini sebagai bentuk proteksionisme yang melanggar prinsip perdagangan bebas. Gugatan pun dilayangkan ke WTO dan dimenangkan oleh Uni Eropa. Tapi menariknya, Indonesia tidak mundur. Presiden Joko Widodo tetap bersikeras melanjutkan hilirisasi.
Antara WTO dan Kepemimpinan Nasional
Bersambung ke halaman selanjutnya –>






