
Di tengah gemuruh penerimaan mahasiswa baru tahun akademik 2025/2026, jurang ketimpangan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) semakin terlihat jelas. Di satu sisi, PTN menerima mahasiswa dalam jumlah besar, bahkan melampaui kapasitas. Di sisi lain, PTS justru menghadapi penurunan jumlah pendaftar yang drastis.
Fenomena ini tidak bisa dipandang sebagai kejadian biasa. Jika dibiarkan, masa depan pendidikan tinggi Indonesia berada di ujung tanduk. Mari kita lihat beberapa data, Universitas Padjadjaran (Unpad) misalnya. Kampus ini menerima total 9.696 mahasiswa baru tahun 2025, naik signifikan dari tahun 2021 yang hanya 6.890 mahasiswa.
Lalu Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menerima 11.181 mahasiswa baru tahun 2024, hampir menyamai angka di 2023. Peningkatan juga dialami Institut Teknologi Bandung (ITB), dari 5.669 mahasiswa baru di 2023 menjadi 6.433 di 2024. Kenaikan jumlah penerimaan di PTN ini berbanding terbalik dengan kondisi PTS. Universitas Pasundan (Unpas), Universitas Bale Bandung (UNIBBA), hingga Universitas Al-Ghifari mengalami penurunan signifikan dalam jumlah pendaftar.
Gingin Ginanjar dari UNIBBA menyebut bahwa efek penambahan kuota PTN terasa langsung di PTS. Calon mahasiswa lebih memilih PTN karena status, biaya lebih murah, dan reputasi. “Meski begitu, kami bersyukur belum sampai pada kondisi ekstrem seperti bangkrut, tidak ada mahasiswa sama sekali, atau harus melakukan pemecatan dosen,” ujar Kepala Bagian Humas dan Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) UNIBBA ini, seperti dikutip dari Bandung Bergerak.
Bahkan Unpas memperpanjang masa pendaftaran dari Januari hingga Agustus 2025 karena jumlah pendaftar belum menunjukkan lonjakan berarti. PTS kini berada dalam posisi yang sulit. Selain bersaing dengan PTN yang memakan kuota, PTS juga harus menghadapi keterbatasan internal, yaitu sarana prasarana terbatas, kualitas SDM yang belum merata, hingga pembimbingan akademik yang minim.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>







Ketimpangan ini terjadi akibat adanya kapitalisme yakni korupsi dana rakyat termasuk pendidikan sehingga mau tidak mau universitas memungut biaya yang tinggi. Selain itu feodalisme di dunia pendidikan yang menganggap universitas ini top sedangkan universitas itu tidak top. Solusinya adalah revolusi dengan hapuskan kelas yang menyebabkan ketimpangan pendidikan, sita aset para koruptor, dan ganti semua kepemimpinan khususnya universitas dari kapitalisme menuju sosialisme.