
Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan hampir 64.900 warga Palestina meninggal dunia akibat perang antara Israel dan Hamas. Pada Selasa lalu, penyelidikan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyimpulkan bahwa perang Israel di Gaza merupakan tindakan genosida, meski para pemimpin Israel membantah klaim tersebut.
Perang yang hampir memasuki tahun kedua ini menjadi salah satu isu global yang memicu perpecahan di berbagai belahan dunia. “Kita semakin terpolarisasi. Seakan kalau tidak 100% mendukung, berarti kita 200% menentang,” ujar Fadi Sharaiha dari MENA Leadership Center beberapa waktu lalu. “Itu tidak benar. Kita butuh ruang untuk berdialog dan berdiskusi.” sambungnya seperti dikutip dari Mission Network.
Menurut Sharaiha, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengakui adanya kejahatan dalam perang ini. Tidak ada pihak yang sepenuhnya bersih karena korban berjatuhan di kedua sisi. “Di tengah semua keburukan ini, saya percaya Tuhan tetap layak menerima segala pujian dan kemuliaan,” kata Sharaiha.
Ia juga menekankan pentingnya kembali pada nilai dasar, mengingat pesan Yesus, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.”
Sharaiha mengakui, sulit berbicara tentang perdamaian di tengah perang yang masih berlangsung. Namun suatu hari, orang-orang bijak harus memulai pekerjaan pemulihan. “Pemerintah dunia saat ini mendesak Israel untuk menghentikan serangan, dan Hamas untuk melepaskan sandera serta menyerahkan senjata,” jelasnya.
Bahkan setelah pertempuran berhenti, tantangan lain akan muncul, yaitu perang di hati manusia. “Saya khawatir pada korban yang jatuh hari ini, tapi juga pada mereka yang bertahan hidup tahun depan,” tambah Sharaiha. “Mereka akan dipenuhi kebencian, trauma, dan luka batin. Itu sebabnya kita harus memastikan ada kabar baik, ada pengharapan yang diberitakan bagi mereka.”
Di tengah kompleksitas perang Israel–Hamas, komunitas global, termasuk kalangan akademisi dan pemimpin muda, diajak untuk menjadi pembawa damai. Sharaiha menegaskan pentingnya pendidikan lintas budaya, penguatan kapasitas pemimpin, dan program trauma healing bagi masyarakat yang terdampak.
MENA Leadership Center sendiri tengah merancang pelatihan yang nantinya dapat membekali para pemimpin untuk mendampingi penyintas perang, termasuk dalam pelayanan pengungsi dan pemulihan trauma.






