
Kampus seharusnya menjadi ruang aman bagi mahasiswa untuk tumbuh, belajar, dan mengembangkan potensi. Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan hal sebaliknya. Di balik semangat kebersamaan dan prestasi, masih ada budaya bullying yang menghantui kehidupan mahasiswa, baik dalam bentuk verbal, sosial, maupun digital.
Fenomena ini bukan hanya soal ejekan atau candaan yang berlebihan, tetapi sudah masuk pada ranah yang dapat merusak kesehatan mental dan kepercayaan diri mahasiswa. Saat itulah, penting untuk mengubah arah budaya kampus dari budaya bully menuju budaya solidaritas.
Bullying di kampus tidak selalu tampak seperti perundungan fisik di sekolah. Ia bisa hadir dalam bentuk halus seperti candaan bernada merendahkan, gosip di media sosial, pengucilan dalam kelompok, bahkan tekanan senioritas dalam organisasi mahasiswa.
Di era digital, cyberbullying menjadi bentuk baru yang sulit dikontrol. Komentar negatif, body shaming, hingga penyebaran rumor di grup online membuat korbannya merasa terasing meski berada di tengah keramaian. Dampaknya pun serius, mulai dari menurunnya motivasi belajar, kecemasan sosial, depresi, hingga keinginan untuk berhenti kuliah.
Budaya solidaritas lahir dari rasa saling menghargai dan empati. Di kampus, hal ini bisa diwujudkan lewat sikap sederhana: mendengarkan teman yang sedang kesulitan, menghargai perbedaan pendapat, atau membantu rekan sekelas yang tertinggal materi kuliah.
Solidaritas tidak hanya membangun lingkungan kampus sehat, tetapi juga menumbuhkan karakter kolaboratif dengan kemampuan yang sangat dibutuhkan di dunia kerja modern. Mahasiswa yang terbiasa berempati dan bekerja sama akan lebih siap menghadapi tantangan dunia profesional yang menuntut kerja tim dan toleransi tinggi terhadap perbedaan.
Kampus memiliki peran besar dalam menciptakan iklim anti-bullying. Melalui kebijakan tegas, pelatihan awareness, dan penyediaan layanan konseling, perguruan tinggi dapat mendorong lingkungan belajar yang aman dan inklusif. Namun, peran mahasiswa juga tidak kalah penting. Membangun budaya solidaritas harus dimulai dari tingkat individu. Mahasiswa bisa memulai dengan:
- Tidak menormalisasi candaan yang menyakiti.
- Menjadi pendengar yang baik bagi teman yang sedang menghadapi masalah.
- Melibatkan semua anggota kelompok dalam kegiatan akademik maupun organisasi.
- Aktif menyuarakan nilai-nilai empati dan saling dukung di lingkungan kampus dan media sosial.
Perubahan budaya tidak bisa terjadi dalam semalam. Ia membutuhkan kesadaran kolektif, komitmen bersama, dan keberanian untuk menolak kebiasaan buruk yang dianggap “biasa”.
Kampus yang kuat bukanlah kampus yang dihuni mahasiswa yang saling bersaing tanpa arah, tetapi kampus yang dipenuhi individu yang saling menguatkan. Dari ruang kuliah hingga dunia digital, sudah saatnya mahasiswa Indonesia menunjukkan bahwa solidaritas adalah wajah sejati dari kehidupan kampus.






