
Di tengah gaya hidup modern yang serba cepat, konsep tidur di masjid mungkin terdengar asing bagi sebagian anak muda. Tapi tahukah kamu? Tidur di masjid sebenarnya punya akar sejarah yang kuat. Bahkan sejak zaman Rasulullah SAW dan hingga kini masih hidup dalam budaya masyarakat di beberapa daerah Indonesia, termasuk Sumatera Barat.
Pada masa Rasulullah SAW, masjid bukan hanya tempat ibadah. Masjid Nabawi di Madinah dulu juga berfungsi sebagai pusat aktivitas umat, tempat belajar, berdiskusi, hingga tempat tinggal bagi mereka yang tidak punya rumah.
Salah satu kelompok yang dikenal sering tidur di masjid adalah Ahlus Shuffah, yaitu para sahabat miskin yang menetap di serambi Masjid Nabawi. Mereka belajar langsung dari Rasulullah, hidup sederhana, dan menjadikan masjid sebagai rumah spiritual sekaligus tempat menimba ilmu.
Bisa dibilang, masjid di masa itu bukan cuma tempat shalat, tapi juga ruang tumbuhnya generasi muda yang haus ilmu dan dekat dengan nilai-nilai Islam. Menariknya, kebiasaan tidur di masjid juga masih bertahan hingga kini di Sumatera Barat.
Di banyak nagari, anak-anak laki-laki dari kecil sudah diajarkan untuk tidur di surau, yaitu semacam masjid kecil di kampung. Tradisi ini bukan sekadar soal tempat tidur. Tidur di masjid atau surau bagi anak-anak Minang punya makna sosial dan spiritual yang dalam.
Mereka diajarkan disiplin, kemandirian, kebersamaan, dan tentu saja, kedekatan dengan agama. Biasanya, selepas salat Isya, mereka belajar mengaji bersama, mendengar nasihat tokoh masyarakat, lalu tidur beramai-ramai di surau. Mereka juga belajar silat, belajar pidato, belajar berorganisasi, belajar diplomasi, berunding dan berbagai keterampilan lainnya. Tan Malaka, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, semua adalah produk surau.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>






