More

    Komersialisasi Eks Palaguna: Gurita Kapitalisme Akut di Jantung Kota Bandung!

    Penulis : Tim Divisi Kajian Strategis GEMA Pembebasan Kota Bandung.

    Ilustrasi Render The Bandung Icon / SkyscraperCity

    Lahan seluas 10.153,75 m persegi eks Palaguna yang terletak di Jl. Dalem Kaum dan berhadapan langsung dengan Masjid Agung Bandung rencanakan akan dibangun kawasan komersil. Lahan tersebut akan menjadi kawasan terpadu yang berisikan mall, hotel dan rumah sakit dengan 16 sampai 18 lantai seperti yang diutarakan tim BUMD PD Jawi dan Lippo Group. Selaras dengan hal itu, Walikota Bandung pernah menuturkan, lahan eks Palaguna memang diperuntukan untuk komersil dengan patokan peraturan RTRW yang ada sebagaimana bangunan Palaguna dulu. Hal ini seolah menjadikan persoalan penggunaan lahan eks Palaguna telah tuntas dari sisi hukum yang ada. Atas dasar itulah Pemkot Bandung tak memiliki kekuatan dalam mewadahi aspirasi warga Bandung yang menginginkan pembangunan di lahan tersebut adalah untuk RTH (Ruang Terbuka Hijau) dan mendukung fungsi kawasan alun-alun sebagai cagar budaya.

    “Pemkot tidak punya kewenangan memaksa pengadaan RTH dilahan pribadi”- Ridwan Kamil (PR, 06/11/2014).

    - Advertisement -

    Berdasarkan kajian Tim GEMA Pembebasan Kota Bandung bersama kawan-kawan Walhi, Tim Cagar Budaya, Masyarakat dan Mahasiswa, lahan eks palaguna merupakan lahan Pemprov Jabar. Dalam pengelolaannya diserahkan keapada BUMD (Badan Usalah Milik Daerah) yakni PD Jawi. Pada pengelolaan lahan tersebut, PD Jawi bekerjasama dengan swasta yakni Lippo Group untuk penggunaan dan pengembangan lahan eks Palaguna itu. Dalam hal ini, Pemprov Jabar adalah pihak yang memiliki kewenangan dalam kerjasama antara BUMD dan Pengembang (Lippo Group). Meskipun berkali-kali usulan untuk pembangunan RTH diajukan, hal itu tidak digubris pemerintah kota. Tampaknya alasan kewenangan berada di pihak Pemprov Jabar menjadi alasannya, karena Pemkot Bandung hanya mengurus pada ranah perijinan saja.

    Selain itu, Usulan untuk dibangunnya RTH tiada lain muncul atas pertimbangan dampak lingkungan dan terlebih kawasan alun-alun harus berpatok kepada cagar budaya yakni menjaga peninggalan-peninggalan budaya Sunda. Perlu diketuhui, Kota bandung hari ini mengalami ‘pemiskinan’ sumber resapan air dan menurunnya daya dukung lingkungan. Bahkan PDAM Kota Bandung sudah tidak mampu lagi untuk mendistribusikan air ke Warganya. Problem lainnya jika bangunan komersil ini akan dibangun adalah meningkatnya kemacetan, limbah, gaya hidup berubah yang semakin menyemarakkan degradasi sosial dan kawasan alun-alun semakin tinggi suhu udaranya. Posisi TCB pun memang krusial dalam pembangunan eks palaguna ini dalam upaya menjadi bangunan komersil (lagi). TCB sebagai penentu akan keselarasannya bangunan komersil dengan ketentuan cagar budaya yang mesti melekat pada kawasan alun-alun. Maka untuk mendapatkan ijin IMB, perlulah mengantongi beberapa rekomendasi dari TCB, Ijin lingkungan dan Tim Ahli bangun dan dan Gedung.

    Ada tarik menarik diantara peta kebijakan pemerintah baik dalam tingkatan Pemprov maupun Pemkot Bandung dalam keputusannya untuk terus memberikan karpet merah bagi komersialisasi (lagi) lahan eks Palaguna. Terbukti dengan Pemkot Bandung yang melimpahkan urusan ini kepada Pemprov, dan Pemprov Jabar melimpahkannya kembali menjadi lahan milik Negara. Tetapi setelah dikerjasamakan dengan Swasta, Pemprov Jabar tak ada upaya untuk menurunkan kebijakan untuk mengambil alih lahan milik Negara. Betapa mengenaskannya. Hal ini tentu akan mengarahkan kepada satu pertanyaan, mengapa lahan milik negara diberikan kepada pengembang yang membawa “misi pribadi”? Dalam pengertian lain mengapa Pemprov membuka jalan kepentingan pribadi untuk mengorbankan ‘kepentingan umum’ warga Bandung?

    Telah menjadi rahasia umum bahwa Lippo Group adalah barisan pebisnis kakap yang memiliki daya kapital besar. Bahkan dapatlah disebutkan sebagai bagian dari kelompok-kelompok intoleran karena telah mengintimidasi rakyat dalam banyak kasus mengenai penyerobotan lahan-lahan dari tangan rakyat demi mengakumluasikan kapitalnya khsusunya dalam bentuk properti. Di Bandung dalam bisnis properti, Lippo Group telah mengakuisisi sejumlah properti komersial. Mereka mengambil alih properti Grup Istana yakni Bandung Indah Plaza dan Istana Plaza. Dan terakhir dalam kasus eks Palaguna ini. Tentu saja, hal ini mempertanyakan posisi pemerintah atas keberpihakannya. Untuk warga Bandung ataukah berpihak kepada pemilik kapital raksasa ini?

    Seabrek kebijakan Pemkot Bandung dengan mengatasnamakan kebutuhan warga bandung tentu perlu ditelisik keabsahannya dengan realitas di lapangan. Apalagi pembangunan yang terus digencarkan malah digawangi dengan mekansime PPP (Public Private Partnership) demi mendapatkan dana pembangunan yang diperolehnya dari pihak swasta. Tentu saja kenyataan ini telah menafikan keberpihakan kepada warga Bandung sebagaimana dalih Pemkot Bandung sendiri. Alih-alih memberikan jaminan kebutuhan (dan disaat yang sama belum jelas kebutuhan warga terdefinisikan) justru pembangunan yang ada baik dalam realisasi dan kemunculannya melalui mekanisme PPP memberikan jaminan kepada para pebisnis kelas kakap alias kapitalis raksasa sekaliber Lippo bahkan jauh dari pada itu. Betapa tidak, persoalan lahan dikota bandung tidak hanya buah dari kebijakan insividu Ridwan Kamil saja sebagai Walikota dalam periode terkini, akan tetapi persoalan ini merupakan persoalan yang terintegrasi dalam alur sistemik dan historis bagaimana lahan-lahan mulai dicaplok demi kepentingan korporasi sejak masifnya liebralisasi pasca reformasi.

    Aplikasi koridor ekonomi misalnya yang digaungkan oleh SBY setidaknya diulang kembali era Jokowi ini yang menjadi acuan bagi kepala daerah dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya masing-masing. Koridor ekonomi diadakan untuk pembangunan ekonomi demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Inilah kata kunci yang dijadikan acuan bahkan dalih bagi pemerintah untuk merealisasikan pembangunan itu entah pembangunan untuk apa dan siapa yang dimaksud. Akan tetapi, hal ini dapat terlihat peruntukannya tatkala pertumbuhan ekonomi dengan mekanisme koridor ekonomi yang berkonsolidasi dengan modal yang semakin memperkukuh jarak yang panjang dan memiliki ketimpangan sosial. Mengapa demikian? Karenan koridor ekonomi adalah refleksi kepentingan elit negara yang berselingkuh dengan pemilik modal (Kapitalis). Tak jauh beda, di daerah pun sama sifatnya, mekanisme PPP telah membuka tabir kebusukan pemerintah dengan berselingkuh dengan pihak swasta. Jalan panjang dalam koridor ekonomi ini merupakan cara yang ditempuh untuk menentukan lokasi dan kondisi, memeperluas wilayah perputaran modal dan dari keuntungan yang diperoleh pun menjadi kapital investasi yang terus mengakumulasikan modal itu. Lantas, atas dasar apa kesejahteraan rakyat diberikan justifikasi dengan dalih pertumbuhan ekonomi. Apakah melegalkan mekanisme ekonomi yang makin liberal dan berpihak kepada sekelompok kapital ini?

    Bandung tampak dicengkram oleh kebijakan pusat, begitupun pemkot Bandung yang tak berdaya menahan lajur gurita kapitalisme. Tak hanya menahan, melainkan juga turut andil memperkukuh cengkraman kapitalisme. Bahkan menjadi rentetan sejarah yang mengamini keberadaan komplotan kapitalis untuk terus memperkaya diri dan mengkapitalisasi Kota Bandung. Alhasil, kota menjadi kian mahal, biaya yang tinggi dan nilai tanah semakin tinggi. Penyerobotan lahan Palaguna menjadi satu bukti tak berdayanya pemerintah dalam mengambil alih lahan yang merupakan milik negara. Ulah PD Jawi yang memberikan lahan tersebut kepada swasta atas restu Pemprov makin nampak mesti menundukan Pemkot Bandung. Sekali lagi inilah kemenangan kaum kapitalis. Jika lahan-lahan semakin strategis yang dipengaruhi oleh pembangunan dan berkumpulnya pemusatan manusia baik dari dalam maupun luar Bandung, maka komersialisasi lahan yang kian mahal itu tentu menjadi keuntungan berlipat. Jika kondisi demikian memberikan karpet merah kepada konglomerat kapital, lantas untuk siapa pembangunan infrastruktur yang digadang-gadang untuk rakyat itu? Sisi lain dana yang diperoleh untuk upaya pembangunan dari investasi kapitalis juga?

    Celakalah Pemkot Bandung dalam kebijakan ini, pembangunan Infrastruktur justru menjadi bagian integral dalam memberikan pelayanan terhadap kaum kapital, penyerobotan lahan eks Palaguna seolah menjadi simbol tak berdayanya Bandung dalam menghantam gurita kapitalis ini. Kalau sudah begini, mana mungkin lagi menomorsatukan pelestarian budaya? Bahkan melihat lingkungan sebagai bahan pertimbangan tatkala orientasi profit di atas segala-galanya. Terlebih cara pandang materialis merasuk ketatar Sunda, bahkan budaya Sunda diletakan sebagai komoditas yang menunjang nilai kapital kota. Inilah subjek yang mengerikan, monster kapital yang rakus untuk terus berupaya menggerogoti Bandung.

    Gambaran ini semakin menunjukan posisi kebijakan-kebijakan lainnya terutama pemberdayaan masyarakat warga Bandung. Bila warga diarahkan untuk “beberes Bandung” inilah kekhawatiran yang utama bahwa warga Bandung tengah diarahkan menjadi “skrup-skurp” kapitalis yang memberikan sokongan dalam menambah nilai jual kota dan semakin menambah keuntungan bagi para pemilik modal. Mereka yang terus mengakumulasikan modalnya demi menutupi mulut tamak yang semakin hari semakin menganga kerakusannya![]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here