Prabowo Setyadi
Musik butuh modal. Perut butuh asupan makanan. Undeground harus tetap jalan. Bagaimana caranya?
Jika melihat begitu megahnya panggung serta alat-alat musik yang bermerek, kita tak menyangka, itu semua hasil dari kerja keras dan kemandirian. Para musisi ada yang harus menyablon baju, menjadi operator studio, buka distro, desainer, jual makanan dan tentunya memperbanyak manggung biar ada pemasukan uang.
Semangat do it yourself (DIY) ini sudah tertanam lama di komunitas Ujung Berung.
Dari hasil kerja inilah mereka meneruskan cita-cita mereka, me-Metal-kan kota Bandung. Gayung pun bersambut. Di kota Bandung sendiri, muncul clothing dan distro-distro yang menjual asesoris underground. Dulu menjual baju kaos dengan jumlah terbatas. Limited edition.
Tapi siapa mengira, seperti ledakan bom atom, baju-baju kaos distro diserbu anak muda. Mengenakan produk distro menjadi kebanggaan.
Lalu tas, ikat pinggang, sepatu, celana, sampai celana boxer menjadi incaran.
Para musisi pun punya sponsor kecil-kecilan. Semisal kalau lagi manggung, para musisi menggunakan baju kaos buatan clothing A. Simbiosis mutualisme akhirnya berjalan. Sama-sama menguntungkan. Produsen baju kaos (clothing) dan penjual (distro=distributor) mendapatkan promosi dari musisi yang menggunakan produk mereka.
Lalu pemerintah datang. Kegiatan ekonomi mandiri ini pun diberi label ekonomi kreatif. Semakin luaslah pangsa pasar yang semula baju kaos hanya dicetak 12 biji saja.
Seiring perkembangan Ujungberung menjadi sebuah daerah industri yang secara langsung merubah pola pikir masyarakatnya terhadap sisi ekonomi, para anak muda Ujungberung tetap pada prinsip D.I.Y.
“Sampai sekarang anak-anak Ujungberung masih bertahan dengan pola industri kreatif. Buka tempat sablon, buka studio musik, kuliner, distro. Rata-rata sih begitu. Jarang ada yang mau bekerja dengan orang lain. Kalo melihat tipikal anak-anak sih males kerja dengan orang lain,” kata Eben. []