ABC AUSTRALIA NETWORK
Koresponden Canberra Karen Barlow untuk Newsline
Ditengah hiruk pikuk perdebatan tentang pencari suaka, anak-anak pencari suaka yang datang ke Australia dengan kapal seringkali terlupakan. Penahanan anak-anak telah membuat issue pencari suaka semakin kontroversial.
Orang-orang yang datang ke Australia dengan kapal untuk meminta suaka kini berjumlah puluhan-ribu – jalur yang mereka lalui seringkali sama, tapi setiap cerita berbeda.
Najeeba Wazefadost, seorang pengungsi Hazara Afghan, melarikan diri dari Taliban ketika berusia 12. Ia kini hampir menyelesaikan gelar yang kedua dan membantu para pengungsi wanita lainnya di Australia.
“Saya tidak tahu bahwa Australia jauh sekali … saya tidak tahu bahwa saya bakal disekap di pusat detensi,” kata Wazefadost.
“Saya tidak pernah lupa ketika kami diperlakukan hanya sekedar angka. Traumatis sekali, terutama bagi anak-anak, pusat detensi bukan tempat yang baik untuk tinggal.”
Wazefadost mengikuti orang tuanya, seperti juga pengungsi Irak Maryam Fakhre. Ia sempat mengamati kegiatan para penyelundup manusia.
“Saya ingat wajah-wajah mereka, tapi tidak tahu nama-nama mereka … saya sendirian … dan saya takut,” kata Fakhre.
Seperti juga Wazefadost, Fakhre juga memafaatkan kesempatan yang ada di Australia.
“Saya ingin menyelesaikan IEC, belajar giat dan menyelesaikan sekolah menengah dan menjadi ketua Parlemen,” katanya.
Seorang pengungsi Irak lainnya, Ali Kahzadi, tiba di Pulau Christmas tiga tahun lalu. Pada usia 10 tahun, ia menjadi kepala keluarga sampai ayahnya tiba dengan kapal kemudian.
“Saya ingin kembali tapi tidak bisa,” kata Kahzadi. “Selama tiga hari, hujan turun …. kami semua berjumlah 116 dan benar-benar menakutkan.”
Sementara itu, keluarga Reem Jezan melakukan pelayaran selama sembilan hari dari Indonesia ke Darwin. Mereka lari dari Iran dimana mereka menolak meninggalkan agama mereka, Kristen, di negara yang mayoritas Muslim.
Ia ingat ayahnya meminta maaf dalam perjalanan itu. “Tekanan yang dihadapi ayah saya semakin besar dan ayah pingsan dan harus dirawat di rumah sakit selama beberapa minggu,” kata Jezan.
“Ia koma selama sembilan hari berturut-turut.”
“Ketika ia terbangun, ia tidak ingat apa-apa tentang perjalanan itu.”
Selama tiga tahun dari 2001, Reem Jezan dan keluarganya tinggal di pusat detensi Villawood.
“Saya melihat orang-orang menggali kubur mereka sendiri, melihat orang-orang menjahit bibir mereka sendiri, melihat orang-orang tidak makan selama berminggu-minggu,” katanya.
“Saya melihat darah, melihat anak-anak kecil menjadi trauma dengan segala sesuatu yang terjadi.”
Ali Al Ali adalah seorang pengungsi Kurdi yang pernah terdampar di Malaysia dan mengalami kapal tenggelam dalam perjalanan ke Australia.
Ia mengatakan, ia tidak ingin orang lain yang mengalami apa yang dialaminya sebagai pengungsi. “Pada malam hari kapal tenggelam,” kata Ali.
“Ayah saya berkata ‘saya minta maaf telah membawa kalian kesini … saya kira kalian akan mempunyai masa depan yang lebih baik, tapi ternyata saya salah’.”
Sejauh ini tahun ini, sudah 180 kapal yang membawa lebih dari 12,000 orang tiba di Australia.
Nasib anak-anak di pusat-pusat detensi menjadi keprihatinan, dan pemerintah telah mengimplementasikan kebijakan untuk menghindari penahanan anak-anak. Anak-anak keluarga Jezan, yang sudah 17 bulan dalam penahanan, digunakan sebagai eksperimen apakah tahanan anak dapat dikirim ke sekolah di luar.
Setiap pagi dan sore, mereka dikawal ke sebuah kendaraan van untuk memastikan mereka tidak akan lari. Meski mengalami berbagai cobaan dan penderitaan, banyak pengungsi yang mencari suaka di Australia mengatakan, mereka bersyukur atas kehidupan mereka yang baru.
“Dulu di negara saya .. saya tidak pernah dihormati sebagai perempuan .. saya tidak pernah tahu siapa saya atau apa yang dapat saya lakukan.” kata Wazefadost.
“Australia memberi saya kebebasan yang selalu saya impikan.” []
SUMBER : RADIO AUSTRALIA