Minggu sore yang tenang. Tidak ramai tidak juga sepi. KabarKampus bertemu dengan seorang seniman yang tengah memamerkan 62 karya kartun berjudul “Tahu Politik” di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Nama seniman itu adalah Dodo Karundeng.
Dulu ia dikenal sebagai jurnalis foto yang banyak merekam peristiwa seni-budaya untuk Kantor Berita Antara. Setelah puluhan tahun, ia lebih memilih hidup sebagai seorang seniman. Memilih kanvas dan kertas untuk menuangkan gagasan dan kegelisahan yang ia rasakan.
Di tengah ruangan, dalam ironi-ironi politik, Frino Bariarcianur (KabarKampus) mewawancarai Dodo Karundeng.
Mas Dodo, kenapa memilih judul “Tahu Politik”?
Judul itu cuman nama, sebuah istilah untuk mencuri perhatian. Tapi kaitannya dengan sekarang, orang juga tahu bahwa tahun ini tahun politik. (Dodo tersenyum). Dan karya-karya yang dipamerkan ini menyuguhkan ironi politik kita. Kadang-kadang aku berpikir, tahu kan terbuat dari kedelai, tapi kedelai kita import. Garam untuk tambahan pun kita import padahal laut kita besar sekali.Politik yang kayak apa, tahu dan garam saja import.Itu yang bikin kita miris juga.Jadi dengan kartun, ironi-ironi seperti itu bikin lebih berpikir dan lebih sehat untuk tahu politik itu.
Mengapa membuat kartun politik?
Buatku sebuah kartun politik, bisa menyimpan daya ingat kita pada sebuah peristiwa masa lalu. Karena itu tanggal pembuatan mungkin menjadi penting. Dunia kartun sebetulnya membaca sinyal-sinyal kebudayaan yang muncul. Dan kartunis bukan cuman tukang gambar, mereka juga harus punya sikap dan ideologi. Kartunis adalah orang-orang yang lebih bisa merenung.
Pengamatan Mas Dodo terhadap situasi politik saat ini?
Aku meminjam istilah GM Sidharta, bahwa politik kita sejak zaman orde baru masih tetap dengan tema-tema yang berulang. Aku setuju dengan GM Sidharta. Tema kita nanti kenaikan BBM, banjir, bencana alam, korupsi, jadi berulang-ulang. Pola-pola itu kan sebenarnya bisa dipelajari, apakah sikap kita bisa berubah pada kejadian-kejadian yang akan datang. Sehingga kita akan liat ke depan seperti apa presiden baru menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.
Di atas kertas dan tinta cina ia menggaris pelbagai persoalan yang tengah kita hadapi. Karya Dodo seperti kejutan listrik yang tidak terlalu kuat voltasenya, tapi mampu membuat kita tersentak. “Dengan kartun kita bisa melihat situasi-situasi tersebut dengan cara pandang yang berbeda. Kartun itu harus bisa menyihir tapi tidak menipu.”
Tapi pernyataan politikus sering membuat publik tertipu, semuanya seperti benar dan baik-baik saja. Tanggapan Mas Dodo?
Opini kita yang ada di televisi adalah opini manipulatif. Jadi misalnya, seorang politikus Sutan Bhatoegana bicara di televisi dengan gaya yang sangat jelas. Dia bilang,”Saya memang bagi-bagi uang, tapi saya tidak menyuruh orang nyoblos.” Itu manipulatif. Dia ngga bisa membedakan antara yang tersurat dan tersirat. Dan masyarakat kita dilatih untuk melihat hal-hal manipulatif seperti itu.
Hampir semua politikus seperti itu…..
Kita harus tahu bagaimana beroponi yang benar. Dan itu urusan pendidikan. Karena pendidikan itu politik yang paling perlu di negeri kita ini sekarang. Tapi kalau wakil rakyat kita akal sehatnya seperti Sutan Bhatoegana, bahaya! (kami tertawa bersama tapi kemudian ruangan jadi sepi lagi. Kami diam.)
Saya juga melihat karya Mas Dodo kesal….
Ya..marah..marah. (Dodo mengeraskan suaranya, lalu diam sejenak). Kenapa orang jadi marah? orang yang berkuasa, misalnya seorang ayah, wah anak kecil ini bisa marah. Seharusnya diterjemahkan…ooo mungkin, orang tuanya kurang ajar.
Dalam pembelaan Sutan Bhatoegana , si politisi Partai Demokrat kontroversial itu, ia membagi-bagikan uang secara ikhlas. Tidak ada maksud untuk mencari simpatik di tengah daerah pemilihannya di Binjai, Sumatera Utara saat kampanye Pileg 2014. Kini Sutan jadi tersangka terlibat dalam kasus korupsi di lingkungan SKK Migas. Sutan diduga menerima hadiah atau janji terkait dengan jabatan dan fungsinya sebagai anggota DPR. Bersama politikus dan pejabat yang kini tengah diproses, ia dalam kondisi harap-harap cemas.
Itu Sutan Bhatoegana. Dan kita pun bisa dan terbiasa mendengar ragam pernyataan politikus lain yang membuat kebimbangan, tanpa kepastian. Kuasa mereka telah menipiskan batas benar dan salah.
Sementara karikatur Dodo Karundeng menyentil dengan lugas sejumlah persoalan sosial politik di Indonesia. Diantaranya soal ucapan Anas yang siap digantung di Monas, soal banjir Jakarta, mobil nasional, orangutan, lingkungan hidup, dan banyak lagi.
Harapan Mas Dodo ?
Harapan itu mutlak-lah ya. Aku selalu bilang kepada teman-teman, “Be Happy”. Kau maksud apa sih dengan be happy itu? Kalo aku lagi sebel aku selalu be happy karena itulah harapan. Jadi harapan itu harus. Kalo kita kehilangan harapan, itu seperti koruptor. Harapan mereka pendek. Kita seharusnya punya harapan yang panjang, memikirkan masa depan anak cucu kita, itu indah. Kalo harapan hanya untuk masuk penjara,apa urusannya? Itu pendek. Itu hanya harapan mengejar materi dengan cara yang tidak benar.
KabarKampus meminta Dodo Karundengan untuk berpose di depan karya. Pertemuan singkat yang memberikan kesan mendalam. Setelah itu, Dodo Karundeng yang kini berusia 63 tahun asyik terlihat berbincang-bincang dengan teman-temannya. KabarKampus keluar dari ruangan pameran. Masih tidak terlalu ramai. Taman Ismail Marzuki ini memang selalu punya daya kejut tersendiri bagi orang-orang yang penat dengan hiruk-pikuk kota Jakarta.
Minggu sore yang tenang. []