YOGYAKARTA, KabarKampus – Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah telah disahkan DPR RI. Polemik pun muncul dari berbagai kalangan. Sorotan utama dalam polemik ini ialah mekanisme pemilihan kepala daerah, yang akan dilakukan secara tidak langsung alias diwakili DPRD.
RUU Pilkada ini tak luput dari penyikapan BEM KM UGM. Mulai dari melakukan kajian naskah akademik dan draft RUU PILKADA yang diajukan oleh pemerintah, melakukan audiensi dengan pihak DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 15 September 2014, dan melakukan audiensi dengan pihak DPR RI pada tanggal 19 September 2014 terkait pandangan BEM KM UGM terkait RUU Pilkada.
Dari hasil kajian BEM KM UGM mereka menyatakan, menolak RUU Pilkada dan meminta pengkajian ulang terhadapnya. Terkait RUU ini mahasiswa juga menyatakan mendukung Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
“Kondisi perpolitikan dan kondisi sosiologis masyarakat masih menuntut sistem pemilihan kepala daerah secara langsung. Hal ini terkait dengan legitimasi dari kepala daerah itu sendiri dalam menjalankan pemerintahannya secara otonom,” kata Aditya Herwin Dwi Putra, Presiden BEM KM UGM dalam keterangan rilisnya, Senin, (29/09/2014).
Menurut Aditya, RUU Pilkada yang ada jika diterapkan akan menimbulkan beberapa dampak. Mulai dari dampak Pra Pilkada, Pilkada dan Pasca Pilkada.
Adhit menjelaskan, dampak Pra Pilkada yakni, figur oknum anggota DPRD atau wakil rakyat yang terkadang menyimpang, memberikan kesan buruk dan menimbulkan keraguan dari masyarakat. Hal ini membuat masyarakat meragukan kualitas dan mempertanyakan representasi wakil rakyat tersebut. Selain itu, pada tahap pendaftaran calon kepala daerah yang harus melalui tahap pembahasan fraksi DPRD untuk diusung kemudian, berpeluang menutup figur calon independen masyarakat dan atau non- partai. –
Selanjutnya adalah tahap Pilkada. Menurut Adhit, karena pemilihan dilakukan secara terbatas oleh DPRD, maka peluang kegiatan politik transaksional akan sulit terdeteksi. Pelakunya pun langsung melibatkan kaum elit dan korporasi.
“Pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan dapat dipertanyakan legitimasinya secara sosial masyarakat. Hal ini dapat terjadi jika ketidaksesuaian keinginan rakyat dengan hasil Pilkada DPRD,” terang Adhit.
Kemudian dampak pasca Pilkada, menurut Adhit, dengan pemilihan kepala daerah oleh DPRD, maka pengawasan masyarakat terhadap proses Pilkada harus dilakukan secara dua arah yaitu DPRD dan calon kepala daerahnya. Selain itu terdapat kekhawatiran bahwa ada pergeseran orientasi pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD dan bukan kepada rakyat langsung lagi.
Oleh karena itu, kata Adhit, selain menuntut Pilkada Langsung, BEM UGM juga menuntut agar pemerintah lebih mengutamakan evaluasi dan perapian sistem kepala daerah yang sekarang. Bukan malah menggantinya.
“ Berbagai keluhan terkait anggaran penyelenggaraan, biaya politik, dan penyimpangan yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah langsung seyogyanya dapat dibenahi dengan tanpa harus mengganti sistemnya. Pencerdasan politik dan efesiensi anggaran menjadi solusi yang dapat mendukung penyelenggaraan demokrasi yang sesungguhnya,” ungkap Adhit.
Adhit juga menghimbau, agar masyarakat meningkapkan partisisipasi dalam mekanisme pemilihan kepala daerah. Partisipasi rakyat pada tahap pemilihan kepala daerah, mulai dari persiapan hingga terpilihnya kepala daerah menjadi hal yang sangat penting.
“ Hal tersebut dapat dilakukan dengan ikut memilih dan mengawasi penyelenggaraannya,” jelas Adhit.[]