JAKARTA, KabarKampus – Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI), mengungkapkan lima mitos dan fakta pemilihan pilkada langsung di Indonesia. Mitos dan fakta ini merupakan hasil penelitian Puskapol UI dan Fitra terkait alasan DPR mengesahkan RUU Pilkada menjadi Undang-undang
Berikut mitos dan fakta tersebut
1. Mitos : Biaya pemilukada langsung mahal dan boros anggaran.
Fakta : Pemilukada langsung yang demokratis bisa murah dan tidak harus mahal. Berdasarkan hasil penelitian Forum Indonesia untuk transparansi anggaran (Fitra). Anggaran pemilu pada pada tingkat kabupaten kota untuk satu kali putaran berkisar Rp 5-28 Miliar, sementara pada tingkat provinsi anggaran pemilukada membutuhkan dana Rp 60-78 Milar.
2. Mitos : Pemilukada langsung memerlukan biaya politik pencalonan yang tinggi sehingga mendorong calon pemimpin kepala daerah melakukan korupsi.
Fakta : Partai Politik berperan besar dalam mempengaruhi tingginya biaya politik kepala daerah. Perkembangan 5 tahun terakhir menunjukan kepala daerah yang dihasilkan dari Pilkada langsung justru dekat dengan rakyat dan mengeluarkan ongkos politik yang relatif kecil.
3. Mitos : Pemilukada langsung rawan konflik dan mengancam persatuan bangsa.
Fakta : Pemilukada langsung selama 10 tahun mampu meredam potensi konflik. Pemahaman tentang konflik harus dilihat secara jernih. Misalnya berbagai perbedaan seperti pendapat, pilihan, hingga sengketa hasil Pilkada seharusnya tidak serta merta dianggap sebagai konflik. Hal tersebut adalah wujud kebebasan untuk berbeda pendapat secara terbuka.
4. Mitos : Masyarakat Indonesia belum siap untuk Pilkada langsung karena dianggap belum rasional dan rentan terlibat politik transaksional, serta menyuburkan politik uang.
Fakta : Hasil riset Puskapol UI di sejumlah daerah yang melakukan Pilkada langsung menunjukan masyarakat pemilih semakin rasional. Pemilih yang menerima politik uang tidak lebih dari 30 % dan hanya 18 % yang bisa di mobilisasi untuk memilih sesuai kandidiat yang memberi uang.
5. Mitos : Penggantian Pilkada lansgung dengan pemilukada oleh DPRD merupakan masalah mekanisme semata yang dianggap sama-sama konstitusional dan demokratis.
Fakta : Indonesia sudah melewati proses sejarah panjang diantaranya Pilkada oleh presiden dan DPRD. Evaluasi terhadap mekanisme ini menunjukan pemilukada tidak langsung selama sepuluh tahun telah menghasilkan pembatasan pengawasan rakyat, serta dominasi partai dalam menentukan kepala daerah, praktek korupsi, dan menlanggengkan oligarki partai. Hanya melalui rakyat bisa ikut menentukan pemipin di daerah.[Nasir]