YOGYAKARTA, KabarKampus – Kejahatan korporasi yang melakukan praktik monopoli dan kartel lebih berbahaya dibanding kejahatan korupsi. Bila korupsi yang dirugikan adalah uang Negara, sementara praktik monopoli dan kartel sebaliknya uang rakyat yang dikuras lewat harga yang harus dibayar menjadi lebih mahal dari yang seharusnya.
Hal ini disampaikan Dr. Paripurna Suganda Dekan Fakultas Hukum UGM, dalam Dikusi Kajian Aspek Hukum dan Penguatan Kelembagaan KPPU Dalam Pengawasan Persaingan Usaha yang berlangsung di gedung Kampus UGM Jakarta, Kamis (09/10/2014).
“Tapi kejahatan ini tidak kasat mata dan tidak mudah dipahami, karena yang disedot bukan uang negara tapi uang rakyat. Celakanya kewenangan yang diberikan kepada KPPU untuk mengawasinya jauh lebih kecil dibanding kewenangan yang diberikan kepada KPK,” kata Paripurna.
Selanjutnya Paripurna mengatakan, tugas KPPU dalam melakukan pengawasan persaingan usaha seharusnya mendapat landasan hukum yang kuat di konstitusi. Soalnya, persaingan usaha di Indonesia besar kemungkinan dilakukan lewat praktik monopoli dan kartel karena konsentrasi ekonomi dikuasasi oleh segelintir pengusaha kaya. Dia menyebutkan, ada 40 orang kaya Indonesia yang asset kekayaannya setara dengan separuh APBN.
“Konsentrasi ekonomi dikuasai segelintir orang. Akibatnya rasio antara si kaya dan si mikisn makin lebar, jika tahun 97 hanya 0,35 sekarang tahun 2012 sebesar 0,14,” paparnya.
Paripurna mengusulkan KPPU butuh kewenangan yang kuat untuk mengatur pengawasan usaha lewat amandemen UU no 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Kedepan, menurutnya KPPU perlu mengaturaturan konglomerasi, holding company, enterprise group dan kombinasi enterprises.
Selain Paripurna, hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut adalah Direktur Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi UGM, Dr. Zainal Arifin Mochtar, SH, LLM, Anggota Komisioner KPPU Dr. Sukarmi dan Dr. Syarkawi Rauf, SE., ME.[]