JAKARTA, KabarKampus – Setelah rencana konversi hutan menjadi perkebunan tebu dibatalkan, masyarakat Kepulauan Aru kembali mendapat ancaman. Kali ini ancaman datang dari perusahaan yang berbeda. Mereka juga ingin mengkonversi lahan hutan di Kepulauan Aru tersebut.
Kepulauan Aru merupakan sebuah kepulauan yang terdiri dari ratusan pulau-pulau kecil di laut Arafura. Secara ekologis, kondisi Kepulauan Aru wilayahnya rentan terhadap perubahan ekosistem.
Hasil analisis Forest Watch Indonesia (FWI) pada periode tahun 2013-2014 menunjukkan bahwa 660 ribu ha atau 83% daratan di kepulauan Aru berupa hutan alam dari total 805 ribu ha luas daratannya. Hutan alam yang terdapat di Kepulauan Aru tersebar rata di seluruh 187 pulau-pulau kecil di Kepulauan Aru. Kepulauan Aru sendiri merupakan sebuah wilayah yang sangat rentan akan dampak kerusakan lingkungan dan alam.
“Pembukaan hutan secara besar-besaran di Kepulauan Aru, akan menyebabkan banyak pulau-pulau kecil yang hilang dan tenggelam. Pembukaan hutan juga akan menyengsarakan masyarakat yang hidupnya tergantung kepada hutan dan sumber-sumber air,” jelas Mufti Barri, peneliti dari FWI menerangkan.
Hasil pantauan yang dilakukan FWI di Desa-desa sekitar pulau Koba, salah satu pulau terkecil di Kepulauan Aru, memperlihatkan dengan kondisi hutan yang sangat bagus, 50 persen sumber air di 8 desa mengalami kekeringan. Jika pembukaan hutan dilakukan, maka sangat memungkinkan seluruh sumber air masyarakat di wilayah tersebut akan hilang. Kawasan karst Koba dan hutan yang ada di atasnya berfungsi layaknya spons yang mampu menjaga tata air di wilayah ini, menahan dan menyimpan air di musim penghujan dan melepaskannya di musim panas.
Menurut Mufti, pembangunan di area pulau-pulau kecil seharusnya memperhatikan kelestarian lingkungan di wilayah tersebut. Konsep pembangunan pulau-pulau kecil tentu tidak dapat disamakan dengan konsep pembangunan di pulau besar. Eksploitasi hutan di Kepulauan Aru akan menyebabkan banyak pulau-pulau kecil di wilayah tersebut tenggelam dan hilang. Hal ini sangat bertentangan dengan wacana pembangunan poros maritim di Indonesia.
“Jika pulau-pulau kecil Kepulauan Aru dan Indonesia rusak dan tenggelam, jati diri bangsa Indonesia sebagai Negara kepulauan akan hilang. Sangat tidak mungkin mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia tanpa memperhatikan keberadaan dan Kelestarian sumberdaya alam pulau-pulau kecil di Indonesia” tegas Mufti Barri dari FWI.
Awalnya pada pertengahan tahun 2007, konsorsium Menara Group mulai menjajakan kakinya di Kepulauan Aru, -sebuah kepulauan yang membentang diantara daratan Papua dan benua Australia. Mereka untuk merencanakan investasi perkebunan tebu dengan cara membuka hutan alam di Kepulauan tersebut.
Puncaknya pada Februari 2013 Kementerian Kehutanan menerbitkan izin prinsip pencadangan kawasan hutan untuk 19 perusahaan dari 28 perusahaan yang diajukan oleh Konsorsium Menara Group. Kebijakan ini menimbulkan penolakan besar-besaran dari masyarakat Kepulauan Aru bahkan pemerhati lingkungan di seluruh dunia. Saat ini, sebuah perusahaan HPH bernama PT Waha Sejahtera Abadi (PT WSA) telah membuat resah kembali masyarakat karena mulai melakukan survey dan pemetaan lahan di wilayah tersebut.
Perusahaan tersebut mendapatkan izin dari kementerian kehutanan pada 30 September 2014 dengan No. SK 5984/Menhut-VI/BRPUK/2014 dengan luas konsesi 54.560 Ha.