More

    Guru Besar UI : Pengajaran Ilmu Ekonomi Telah Mengabaikan Kebersamaan

    Prof Sri Edi Swasono, Guru Besar Ekonomi UI, menyampaikan orasi Ilmiah dalam rangka dies natalis UI. Foto. Humas UI
    Prof Sri Edi Swasono, Guru Besar Ekonomi UI, menyampaikan orasi Ilmiah dalam rangka dies natalis UI. Foto. Humas UI

    DEPOK, KabarKampus – Ilmu Ekonomi di kampus-kampus di Indonesia lebih banyak menonjolkan paradigma “bersaing” bukan kerjasama yang titik tolaknya adalah kepentingan individu sesuai paham individualisme, dan kebebasan individu sesuai paham liberalisme ala smithian. Paradigma ini berpedoman pada prinsip predatorik “greedy is good” yang pada akhirnya membentuk the winner take all market yang tentu berarti mengabaikan kebersamaan  asas kekeluargaan  dan persatuan sebagai the cherished core.

    Hal tersebut disampaikan oleh Sri Edi Swasono Nitidinningrat, Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, dalam orasi ilmiahnya bertajuk “Proklamasi Kemerdekaan Adalah Proklamasi Budaya : Kebersamaa, Asas Kekeluargaan, Identitas dan Eksistensi” dalam acara Dies Natalis UI 2015 di Balairung UI, Depok, Senin, (02/02/2015).

    Pencipta Janji Wisudawan UI ini mengatakan, kampus-kampus di Indonesia telah mengabaikan titik tolak kebersamaan dengan akibatnya ilmu ekonomi yang diajarkan tidak saja melupakan kerjasama dan kekuatan sinergis yang luar biasa, namun juga melupakan dokrin ekonomi nasional.

    - Advertisement -

    “Kepentingan masyarakat lebih utama dari kepentingan orang-seorang, bumi, air, dan kekayaan alam yang dikandungnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” kata Edi menyebutkan dokrin demokrasi ekonomi nasional.

    Lebih dari itu, menurut Edi persaingan akan mengurangi hilangnya potensi-potensi ekonomi dan sosial kultural dari para petarung yang gugur di dalam persaingan bebas. Padahal menurutnya, kerjasama sebagai paradigma ekonomi yang makin menjadi kontemporer sebenarnya bukanlah suatu keterpaksaan, tapi adalah suatu tuntutan berekonomi dalam dokrin mutualism, suantu human mutuality yang menentang terbentuknya the winner take all society.

    Melihat orientasi pembangunan nasional, yang kelewat mengutamakan kepentingan ekonomi dan berientasi miopopertumbuhan ekonomi (GDP growth), menurut Edi, telah mengakibatkan Indonesia lengah memperhatikan kedaulatan ekonomi nasional. “Lebih dari itu karena kita telah lengah budaya menerima dan memelihara neoliberalisme dan kapitalisme, sekaligus mengabaikan pesan-pesan konstitusi dan mengabaikan pancasila sebagai, ketipangan dan ketidakadilan ekonomi yang menjadi-jadi,” kata Edi.

    Edi menjelaskan, globalisasi sebagai topeng neoliberalisme dan pasar bebas mempertajam kelengahan Indnesia. Hal ini telah mencederai rasa kebersamaaan dan kekeuargaan yang memikul kohesi nasional.

    “Kita tidak saja terlibat dalam perang ideologi tapi juga perang budaya, perang mindset sebagai neocortical warfare yang arahnya merusak nilai nilai keindonesiaan kita, untuk melumpuhkan dan menghapuskan eksistensi berikut identitas Indonesia,” terang Edi.

    Oleh karena itu, kata peraih gelar Doktor dari University of Pittsburgh pada usia 28 tahun ini, hegemoni akademis berlanjut dengan menjadi kemiskinan akademis, melihat human dan social affair dengan kaca mata kuda.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here