
YOGYAKARTA, KabarKampus – –Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) mendesak tenaga medis untuk menghentikan sunat pada perempuan. Desakan ini disampaikan bertepatan dengan satu tahun Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 6 Tahun 2014 yang mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636 Tahun 2010 tentang sunat perempuan, diberlakukan,
Basilica Dyah Putranti, Ph.D. (cand), Pakar Gender sekaligus Peneliti PSKK UGM mengatakan, sosialisasi tentang telah dicabutnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636 Tahun 2010 masih sangat kurang. Untuk itu, Kementerian Kesehatan di masa kepemimpinan Prof. Dr. dr. Nila F. Moeloek perlu untuk menindaklanjuti secara tegas pelaksanaan atau penerapan aturan ini hingga ke level bawah.
“Tren medikalisasi sunat perempuan terjadi di banyak negara termasuk Indonesia. Maka, perlu langkah-langkah yang jelas untuk memastikan agar praktik sunat atau perlukaan pada alat vital perempuan tidak dilakukan oleh tenaga medis baik bidan, ginekolog atau dokter spesialis kandungan maupun perawat,” ujar Basilica.
Ia menjelaskan, peran dari tenaga medis dipandang penting dalam upaya menghentikan praktik sunat perempuan. Sebagai garis terdepan dalam memberikan layanan kesehatan, tenaga medis juga diharapkan bisa turut mensosialisasikan tentang bahaya komplikasi kesehatan akibat praktik sunat atau perlukaan pada area sensitif perempuan tersebut.
Menurut Basilica, bermula dari sunat laki-laki yang dalam pengetahuan medis merupakan operasi minor dan dipercaya bermanfaat bagi kesehatan. Misalnya, untuk menghindari munculnya berbagai penyakit seperti fimosis, parafimosis, dan kanker. Kepercayaan medis tentang manfaat sunat berkembang tidak hanya pada umat Islam saja, namun juga umat agama lainnya. Terlebih, sudah ada prosedur, peralatan, dan pengobatan medis modern yang mampu mengurangi rasa sakit serta risiko komplikasi serius.
“Sunat perempuan seperti terbawa. Proses medikalisasi dalam praktik sunat laki-laki dianggap berpengaruh positif. Alasan medisnya cukup kuat, yaitu untuk kebersihan dan mencegah penyakit kelamin. Tidak demikian halnya dalam kasus sunat perempuan. Namun, karena dikaitkan dengan tradisi dan agama, sunat perempuan seolah-olah juga penting untuk dilakukan,” jelas Basilica.
Selain itu, Basilica juga mengatakan, sunat perempuan juga dinilai bias gender. Banyak yang menanyakan, jika dari sisi manfaatnya sama sekali tidak ada bahkan berdampak buruk terhadap kesehatan fisik maupun psikis perempuan, lalu mengapa praktik sunat perempuan masih terus dilakukan, dipelihara bahkan dipaksakan?[]
Basilica menduga, ada kemungkinan angka sunat perempuan cukup tinggi mengingat adanya fundamentalisme agama yang menguat beberapa tahun terakhir ini. Praktiknya tidak lagi tradisional melainkan dilakukan oleh tenaga medis. Maka, sekali lagi penting untuk melibatkan tenaga medis untuk turut serta dalam upaya menghentikan praktik sunat perempuan.