BANDUNG, KabarKampus – Meski kalah dalam putusan pengadilan terkait kebijakan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 (Untag), yang memecat dan menskorsing mahasiswanya, namun Rektor Untag masih belum beritikad baik melaksanakan putusan pengadilan. Padahal dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 307/K/TUN/2015 tanggal 10 Agustus 2015 telah menolak permohonan kasasi dari Rektor Untag dan sebagai dampaknya mengharuskan Rektor Untag untuk mencabut SK Drop Out dan skorsing.
“Dengan kata lain, putusan sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan tersebut harus dijalankan,” kata Alghiffari Aqsa, Direktur LBH Jakarta, Selasa, (16/02/2016)
Namun, kata Alghiffari, ketika pihak Untag diajak untuk berdiskusi dalam hal pelaksanaan putusan, kuasa hukum Rektor Untag Jakarta malah tidak hadir dan berencana mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Ini merupakan bukti bahwa Rektor Untag Jakarta telah melakukan pelanggaran terhadap kemerdekaan menyampaikan pendapat, juga kemerdekaan berorganisasi dan berkumpul.
(Baca Juga: Nasib Mahasiswa Untag Terlunta-lunta)
Sebelumnya Institusi pendidikan swasta di bilangan Sunter, Jakarta Pusat ini mengganjar 6 (enam) orang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dengan pemecatan (drop out), dan skorsing. Tindakan tersebut dilakukan setelah para mahasiswa yaitu Zainudin Alamon, Mamat Suryadi, Ade Arqam Hidayat, Arnold Dedy Salam Mau, Patrisius Berek, Muhammad Sani, Alfi Wibowo, dan Muhammad Rahmansyah melakukan aksi unjuk rasa secara damai di depan pintu gerbang kampus pada 18-20 Desember 2013 lalu.
Adapun aksi tersebut adalah upaya menentang pembubaran seluruh organisasi kemahasiswaan oleh Yayasan yang didukung oleh Rektor Untag Jakarta. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), baik di tingkatan Universitas maupun Fakultas, Senat Mahasiswa Fakultas, Himpunan Mahasiswa Jurusan, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), Pecinta Alam UNTAG ’45 Jakarta (PATAGA), Resimen Mahasiswa, dan Unit Kegiatan Mahasiswa di bidang seni dan teater. Semuanya sekarang tidak aktif lagi.
“Selain itu, hampir seluruh hal yang berhubungan dengan mahasiswa “diuangkan”, misalnya pungutan atas ujian susulan sebesar Rp. 200 ribu dan apabila mahasiswa terlambat membayar uang kuliah dikenakan denda sebesar Rp. 25 ribu. Hal ini sangat memberatkan, padahal, mahasiswa di kampus ini rata-rata berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah,” tambah Alghiffari.
Pengajuan upaya hukum oleh LBH Jakarta terhadap kasus pemecatan mahasiswa Untag dilakukan tepat pada Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2014 Zainudin Alamon, dkk kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Kemudian pada 21 Oktober 2014, Majelis Hakim PTUN Jakarta memenangkan Zainudin Alamon, dkk. Selanjutnya di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta pada 27 Januari 2015 dan Mahkamah Agung (MA) pada 10 Agustus 2015.
Oleh karena itu, LBH Jakarta mengecam Rektor Untag Jakarta. Mereka meminta kepada Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Ristek Dikti untuk memerintahkan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta untuk mencabut SK Rektor tentang Penerapan Sanksi Akademis bagi Mahasiswa Fisip Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta tertanggal 3 Februari 2014. Selain itu LBH juga meminta Kemenristek Dikti Memerintahkan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta untuk merehabilitasi mahasiswa dalam kedudukannya sebagai mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.
“Kami ingin Kemenristek Dikti memastikan Zainudin Alamon, dkk. dapat lulus dan memperoleh gelar sarjana tanpa ada lagi gangguan akademik yang dibuat-buat oleh Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta,” ungkapnya.[]