More

    Ada 421 Kebijakan Pemerintah yang Diskriminatif Terhadap Perempuan dan Anak

    ENCEP SUKONTRA

    Diskusi “Eksploitasi Komersialisasi Anak dan Inklusi Sosial” di Kampus Universitas Katholik Parahyangan (Unpar), Jalan Merdeka, Bandung, Selasa (30/08/2016). FOTO : ENCEP SUKONTRA
    Seminar nasional “Eksploitasi Komersialisasi Anak dan Inklusi Sosial” diselenggarakan oleh KAP dan LPPM Unpar di Kampus Universitas Katholik Parahyangan (Unpar), Jalan Merdeka, Bandung, Selasa (30/08/2016). FOTO : ENCEP SUKONTRA

    BANDUNG, KabarKampus-Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mengungkapkan masih banyak kebijakan publik yang diskriminatif terhadap perempuan dan minoritas. Kebijakan diskriminatif ini tersebar di berbagai daerah di Indonesia.

    Indrawari, Komisioner Komnas Perempuan, mengatakan kebijakan diskriminatif antara lain dituangkan dalam bentuk peraturan daerah (Perda). Isi Perda tersebut banyak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yakni Undang-undang.

    - Advertisement -

    “Berdasarkan data Agustus 2016, ada 421 kebijakan publik yang diskriminatif terhadap perempuan dan minoritas,” kata Indrawari, dalam seminar nasional bertajuk “Eksploitasi Seks Komersial Anak dan Inklusi Sosial” yang diselenggarakan oleh KAP dan LPPM Unpar di Kampus Universitas Katholik Parahyangan (Unpar), Jalan Merdeka, Bandung, Selasa (30/8/2016).

    Perda-perda diskriminatif tersebut antara lain mengatur prilaku perempuan, misalnya cara berbusana perempuan, mengatur perempuan di ruang publik. Banyak juga perda yang mendiskriminasi kelompok-kelompok minoritas seperti kelompok agama dan kepercayaan.

    “Saat ini daerah seperti kerajaan kecil yang membuat perda yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.”

    Lebih lanjut Indrawari mengatakan berdasarkan Undang-undang No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, perda yang bertentangan dengan peraturan di atasnya bisa dibatalkan oleh menteri. Undang-undang No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah mengatur bahwa perda tidak boleh bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.

    “Undang-undang ini lebih maju, bisa membatalkan perda jika perda tersebut bertentangan dengan HAM dan peraturan yang lebih tinggi oleh menteri. Beda dengan dulu sebelum ada Undang-undang Pemerintah Daerah, pembatalan perda hanya bisa dilakukan presiden. Sekarang menteri bisa membatalkan,” ungkap Indrawari.

    Komnas Perempuan juga mencatat masih ada peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Contohnya, Undang-undang No 23/2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tidak optimal dalam melindungi perempuan dan anak.

    “Padahal Undang-undang KDRT sudah 12 tahun berlaku,” katanya.

    Menurutnya, dalam UU KDRT ada celah untuk mengkriminalisasi perempuan sebagai korban. Hal ini diperparah dengan lemahnya aparat hukum dalam memahami kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Aparatur negara dinilai tidak memiliki perspektif gender.

    Seringkali di lapangan, aparat hukum menganjurkan korban untuk tidak memperkarakan kasus KDRT secara hukum.

    “Untuk kasus KDRT solusinya perceraian, sehingga perempuan lepas dari pelaku. Sehingga pelaku dibiarkan bebas dan tidak menutup nantinya bisa melakukan hal serupa,” katanya.

    Contoh lain, adanya inkonsistensi antara Undang-undang yang satu dengan Undang-undangnya dalam mendefinisikan usia anak. Akibat inkonsistensi ini negara jadi terlibat dalam menikahkan anak di bawah umur.

    “Sebesar 42 persen perempuan menikah dalam usia 15-19 tahun,” katanya. Dampaknya, pernikahan dini menyumbang angka kematian ibu dan anak. Sehingga Indonesia masih menjadi negara dengan kematian ibu dan anak tertinggi di Asia. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here