More

    Ironis, Kampus Justru Mendorong Mahasiswa Anti Intelektual

    ENCEP SUKONTRA

    Esais Zen RS (kiri) dalam diskusi “Apakah Bandung Di Bawah Militerisme?” yang digelar Media Parahyangan di Co-op Space Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Jalan Menjangan, Bandung, Jumat (02/09/2016) malam. FOTO: ENCEP SUKONTRA
    Esais Zen RS (kiri) dalam diskusi “Apakah Bandung Di Bawah Militerisme?” yang digelar Media Parahyangan di Co-op Space Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Jalan Menjangan, Bandung, Jumat (02/09/2016) malam. FOTO: ENCEP SUKONTRA

    BANDUNG, KabarKampus-Baru-baru ini publik bereaksi keras dengan pembubaran paksa Perpustakaan Jalanan Bandung oleh militer. Banyak yang mengecam hingga mengutuk. Kasus ini viral di media sosial hingga bergulir di jalan dan di forum-forum diskusi dengan tema sama: militer mengancam kegiatan intelektual membaca.

    Esais Zen RS menilai pembubaran Perpustakaan Jalanan Bandung yang terjadi akhir Agustus lalu sebagai bentuk antiintelektual. Anti intelektualisme berlangsung sudah lama, di jaman Yunani kuno sudah ada. Anti intelektualisme bisa dilakukan siapa saja, oleh militer maupun sipil, bahkan oleh kaum intelektual atau kalangan terdidik.

    - Advertisement -

    Anti intelektualisme bentuknya bisa konvensional, contohnya permbubaran secara represif yang dilakukan militer, pembakaran buku, pelarangan buku, hingga bentuk yang paling canggih yang tak kasat mata.

    “Anti intelektualisme tak kasat mata membuat anti intelektualisme mendapat legitimasi publik,” kata Zen RS dalam Diskusi Publik bertema “Apakah Bandung Di Bawah Militerisme?” di Co-op Space Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Jalan Menjangan, Bandung, Jumat (02/09/2016) malam.

    Dalam diskusi yang digelar Lembaga Pers Mahasiswa Media Parahyangan itu, Zen RS mengatakan anti intelektualisme yang turunannya antara lain anti buku, anti literasi, anti perpustakaan, anti kritik, itu akan sangat berbahaya bagi perkembangan intelektualitas jika sudah mendapat legitimasi publik.

    Legitimasi publik itu bentuknya berupa pembiaran publik terhadap kasus-kasus yang membungkam kegiatan intelektual. Misalnya, publik diam saja jika ada pembubaran diskusi, mahasiswa tidak bereaksi apa pun terhadap pelarangan buku, dan lainnya.

    Bahkan Zen RS menyebutkan anti intelektualisme sudah merasuk dunia pendidikan, termasuk kampus. Paham yang memberangus daya kritis mahasiswa ini setidaknya dimulai sejak Revolusi Industri di mana pendidikan disiapkan untuk industri.

    “Sejak ditemukannya mesin uap, pendidikan dibuat untuk menyiapkan tenaga-tenaga produksi. Sebelum revolusi industri masyarakat pasti mengambil ilmu-ilmu klasik Yunani. Sejak revolusi industri, pendidikan dikalahkan oleh ilmu-ilmu praktis,” katanya.

    Di masa kekinian, muncul dukungan-dukungan anti intelektualisme tak kasat mata. Kata Zen RS, bentuknya berupa dorongan kepada mahasiswa agar tidak boleh lama-lama kuliah, cukup 3,5 sampai empat tahun saja. Membaca cukup membaca diktat kuliah, tidak perlu membaca buku yang aneh-aneh di luar buku kuliah.

    “Itu adalah gejala-gejala antiintelektualisme untuk mencipttakan generasi industri. Ini bahaya karena tidak kasat mata,” tandas Zen RS.

    Anti intelektualisme tumbuh subur di masa Orde Baru. Bahkan di jaman rezim otoriter itu muncul istilah kritik harus dengan solusi, kritik harus bertanggung jawab, dan istilah anti intelektualisme tak kasat mata lainnya yang meresap hingga kini.

    “Istilah kritik harus dengan solusi, harus bertanggung jawab ini anti intelektual karena memaksa orang untuk melakukan hal yang tidak perlu. Kalau mau kritik ya kritik saja. Soal solusi kan sudah ada pemerintah, sudah ada PNS, yang bekerja untuk membuat solusi,” ungkapnya.

    Padahal kritik sendiri adalah disiplin ilmu tersendiri, di dalamnya ada kritik seni rupa, kritik sastra dan lainnya. “Sayang disiplin ilmu kritik justru direndahkan, derajatnya diturunkan dengan berbagai macam cara anti intelektualisme,” ujarnya.

    Shaquille Noorman, mahasiswa Unpar yang juga aktivis dari Media Parahyangan, sepakat dengan adanya paham-paham anti intelektualisme yang menyelinap ke kampus-kampus. Paham ini membuat mahasiswa tidak menyadari bahwa kampus merupakan pusat kegiatan intelektual yang bebas tanpa batas.

    “Kita tidak sadar bahwa kewajiban kita belajar di kelas, kuliah saja, tidak boleh membaca buku aneh-aneh, setelah itu pulang kuliah, begitu seterusnya. Hal itu membuat kita lupa pada fungsi mahasiswa itu sendiri. Padahal institusi pendidikan adalah institusi yang bebas untuk melakukan kegiatan intelektual,” ungkap Shaquille Noorman.

    Menurutnya, rutinitas perkuliahan membuat mahasiswa tidur lelap, kehilangan daya kritisnya. Ia khawatir sikap mahasiswa ini menjadi sikap publik yang diam terhadap aksi-aksi intelektualisme. Contohnya, jika sikap intelektualisme sudah disepakati publik maka tidak ada nada reaksi perlawanan terhadap aksi militer yang membubarkan Perpustakaan Jalanan Bandung.

    Shaquille Noorman menilai, lapisan masyarakat mungkin tidak merasakan keresahaan saat Perpustakaan Jalanan Bandung dibubarkan. “Itu dianggap sudah biasa. Padahal publik mungkin tidak tidak tahu bahwa membubarkan Perpustakaan Jalanan Bandung itu bukan tugas militer, militer tidak bisa campur tangan pada urusan sipil,” paparnya. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here