IMAN HERDIANA
Akhir-akhir ini semangat toleransi menghadapi ujian berat. Perbedaan diperuncing, kebersamaan ditinggalkan. Hal ini terjadi pula di internet, yang beda selalu kena bully. Bagaimana menghadapi zaman yang penuh bully-an ini?
Hawe Setiawan, budayawan yang juga dosen sastra dan seni Universitas Pasundan mengatakan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan saat menghadapi bully.
“Didiamkan saja. Biarkan saja. Soalnya menguras energi,” kata Hawe Setiawan, kepada KabarKampus di Bandung, baru-baru ini.
Lebih lanjut Doktor FSRD ITB ini menjelaskan, diam bukan berarti tidak melakukan apa-apa. Orang yang dibully harus tetap beraktivitas, yaitu melakukanlah hal produktif, misalnya membuat teks atau tulisan yang berkualitas.
Menurutnya, jangan sampai bully membuat ragu atau takut bersuara dan ragu menulis. Ia menyarankan tetaplah menulis sesuatu yang kuat dan berkualitas. Langkah lainnya lagi, mulailah menyeleksi teman di media sosial.
Jika ada teman yang gemar mem-bully atau men-share info-info tak jelas dan memperuncing perbedaan, ia menyarankan cara tegas, yaitu unfriend. “Itu langkah kecil. Begitu mereka di-unfriend, lama-lama mereka akan habis,” katanya.
Untuk itu ia berterima kasih kepada Facebook yang menyediakan layanan unfriend. Begitu juga pada grup-grup Whatsapp, BBM atau grup lainnya yang isinya tak produktif, ia menyarankan left atau keluar grup.
Fasilitas untuk keluar grup, menghapus teman, ada pada setiap media sosial. Misalnya unfriend di Path, Line, atau unfollow di Instagram dan Twitter. Cara ini akan efektif mengurangi info-info penyebar kebencian, memperuncing perbedaan, dan merusak kebersamaan.
Ia mengungkapkan, di zaman bully ini cenderung menghilangkan sikap toleran, hilangnya rasa hormat pada orangtua, bahkan tokoh yang dituakan pun tidak lepas dari bully. “Orang seperti Buya Syafii Maarif, Gus Mus, bahkan dibully, padahal itu dosa,” kata dia.
Praktek bully tidak lepas dari rendahnya minat membaca. Prilaku masyarakat di media sosial diduga tak lagi memiliki kesabaran membaca dan ingin cepat menyimpulkan.
“Semangat kebersamaan bisa rusak kalau kita tak sabar membaca,” katanya seraya mengajak masyarakat membudayakan membaca. Budaya membaca dapat membangun kesadaran dan kebersamaaan.
Ia khawatir, Indonesia terjerumus pada kekerasan. Budaya teks/baca cenderung dilawan dengan fisik dan teriakan kasar atau pemaksaan kehendak. Seharusnya teks dilawan dengan teks, gagasan dilawan gagasan.[]