IMAN HERDIANA
BANDUNG, KabarKampus-Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasca-revisi dinilai masih menebar ancaman bagi kebebasan pers dan berekspresi. Sejumlah pasal yang diduga bermasalah masih bercokol. Salah satunya pasal pencemaran nama baik.
Asep Komarudin dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mengungkapkan, revisi UU ITE hanya mengurangi hukuman pada pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik dari enam tahun menjadi empat tahun penjara.
Dengan besaran hukuman tersebut, terlapor (yang dilaporkan) tidak bisa langsung ditahan oleh penyidik kepolisian. Hal ini sesuai dengan Kitab Acara Hukum Pidana bahwa penyidik bisa menahan terlapor yang ancaman hukumannya di atas 5 tahun penjara.
“Tapi (revisi) tidak menyelesaikan masalah karena akarnya masih ada,” ujar Asep Komarudin, dalam diskusi tentang UU ITE, rangkaian Festival Indonesia Menggugat#3: Pekan Literasi Kebangsaan di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan, Bandung, Sabtu (03/12/2016).
Akar itu, kata dia, adalah masih bercokolnya pasal pencemaran nama baik pada UU ITE versi revisi. Pasal ini berpotensi membungkam kebebasan pers dan berekspresi publik, walaupun hukumannya lebih ringan menjadi 4 tahun sehingga tidak bisa ditahan kepolisian.
Dalam perjalanan penerapan UU yang lahir pada 2008 itu, terbuki pasal pencemaran nama baik sering disalahgunakan pemegang kekuasaan atau pemilik modal. Pasal ini hanya akan menjerat orang-orang lemah seperti Prita Mulyasari (2009) yang mengkritisi kebijakan sebuah rumah sakit.
“Tujuh puluh persen pelapor pencemaran nama baik adalah pejabat publik. Yang dilaporkan adalah masyarakat yang kritis terhadap kebijakan,” kata Asep Komarudin.
Berdasarkan data LBH Pers, grafik penggunaan pasal pencemaran nama baik UU ITE terus meningkat sejak pertama kali diundangkan. Pada 2009, pelaporan dengan pasal tersebut sebanyak satu kasus, yakni kasus Prita. “Sekarang perbulannya 10 kasus dengan sebaran makin luas dengan platform beragam,” katanya.
Platform yang dilaporkan sangat bervariasi, mulai email, SMS, media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Line, grup Whatsapp, Blackberry Messenger (BBM), status BBM, Path, dan lain-lain. Platform media sosial tersebut banyak digunakan masyarakat di era internet ini.
“Pencemaran nama baik sangat subjektif, terkait rasa. Contoh, seorang koruptor yang terbukti salah dan dipenjara, merasa masih punya nama baik, dan dia bisa melaporkan orang yang menyebutnya koruptor,” katanya.
Selain pasal pencemaran nama baik, LBH Pers juga menyoroti sejumlah pasal lain yang bisa disalahgunakan penguasa, antara lain pasal tentang SARA, pornografi, hak untuk dilupakan, dan pemblokiran website.
Indriyatno dari Information and Communication Technology (ICT) Watch menambahkan, publik harus memerhatikan UU ITE pasca-revisi, terutama pada Bab 14 pasal 27 sampai 35 yang meliputi pelarangan pencemaran nama baik, menyebarkan berita bohong, SARA, kekerasan, pornografi dan lainnya.
Semua itu menjadi rambu-rambu bagi masyarakat atau pengguna internet di Indonesia. Jika rambu-rambu tersebut dilanggar, publik atau netizen bisa terkena masalah hukum. Terlebih, kata Indriyatno, jumlah masyarakat pengguna internet di Indonesia sangat besar.
Ia menuturkan, era 2000-an, pengguna internet banyak mengakses media online. Kini, ada pergeseran dari media online ke media sosial (medsos) seperti Facebook dan lainnya. “Medsos di Indonesia luar biasa, sanga besar penggunanya terutama Facebook,” katanya.
Akses terhadap internet pun mengalami pergeseran, dari komputer jenis PC atau laptop ke ponsel pintar. Data ICT Watch menyebutkan, saat ini 40 persen masyarakat Indonesia mengakses internet melalui ponsel, sisanya melalui komputer, laptop, tablet.[]