BANDUNG, KabarKampus – Bagi Seno Gumira Ajidarma, seorang punulis, wartawan, dan juga dosen, buku memiliki peranan penting dalam menjauhkan seseorang dari informasi hoax. Namun kenyataannya di era gadget saat ini, seorang anak justru langsung ke budaya visual, tanpa melewati membaca buku.
“Ini menjadikan mereka kosong tak tahu apa-apa,” kata Seno Gumira Ajidarma dalam diskusi di Soemardja Book Fair, Kampus ITB, Bandung, Selasa, 21/02/2017).
Menurut Seno, siapapun yang mengalami proses baca buku, akan mengerti kalau mereka bisa menjadi diri mereka sendiri. Namun selama membaca buku, mereka tidak sendiri, ada monolog di sana. Mereka juga akan memiliki dunia dengan dimensi yang banyak sekali.
“Dia bisa masuk sana sini, bahkan bisa mengarang buku sendiri di kepalanya. Jadi hidupnya tidak terbatas pada dunia 24 jam ini,” kata Seno yang juga saat ini menjabat sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini.
Tetapi kata Seno, dengan dunia visual saat ini, buku menjadi tidak penting. Padahal gadgetism tersebut memiliki dampak yang luar biasa. Dia tidak gratis, tapi juga membantuk diri manusia.
Seno mencontohkan teori burung yang selalu mencari burung yang bulunya sama. Maka, dengan gadget akan ada kelompok yang tergandakan. Mereka menjadi ganda tampa sempat refleksi, tanpa sempat apa apa.
“Makanya hoax itu gampang kena. Karena refleksi itu kata-kata yang lewat,” ungkap pria yang kini berusia 58 tahun ini..
Tak hanya itu, dalam hoak juga, kata Seno, semangat untuk memaki tinggi. Bahkan, bila orang yang menyebarkan hoax tersebut salah, maka justru ia menyesal. Namun sayangnya, kebanyakan orang tidak sadar. Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan orang lain untuk kepentingannya.
Bagi Seno, orang fanatik itu bodoh, tapi pura pura fanatik itu jahat. Namun memanfaatkan kedua-duanya untuk keuntungan diri sendiri, Itulah yang paling busuk. Hal inilah, kata Seno yang berlaku dalam konstelasi gadgetism.
“Bukan tidak ada yang baik dalam gadgetism. Jelas banyak juga. Tapi kita memikirkan yang pahitnya. Artinya kalau pembacaan kita beres dan dunia buku kita beres, semuanya itu hanya menjadi instrumen doang. Tidak jadi berhala,” ungkap Seno.
Maka dari itu, kata Seno, orang yang kehilangan handphone saat ini seperti sudah seperti kehilangan sesuatu yang besar, seolah membuat dunianya terputus. Padahal berpuluh-puluh tahun sebelum handphone muncul dunia ini baik baik saja.
“Namun setelah ada handphone, ya itu dia, saya tidak bisa bayangin itu,” pungkas Seno.
Menurut Seno, salah satu konsekuensi logis dari era gadget adalah munculnya orang yang mengalami “autis” sosial. Bagi mereka yang mengalaminya, dunia maya itu nyata dan yang nyata tidak perlu menjadi nyata.
“Jadi ini tingkat keterasingannya. Yang nyata dihindari, yang maya dianggap nyata,” tutup Seno.[]