JAKARTA, KabarKampus – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengkritik pemerintah terkait pembubaran organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). AJI menganggap pembubaran HTI melanggar Undang-undang tentang kebebasan berserikat dan tidak sejalan dengan prinsip negara demokrasi.
“Membubarkan organisasi, termasuk seperti HTI, adalah pelanggaran terhadap hak menyatakan pendapat dan berserikat yang itu dilindungi Konstitusi. Pasal 28 E UUD 1945 ayat (3) tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,” kata Suwarjono, Ketua Umum AJI Indonesia dalam keterangan Persnya, Selasa, (09/05/2017).
Menurutnya, upaya pemerintah mengambil langkah hukum membubarkan HTI dengan alasan indikasi HTI bertentangan dengan UUD 1945 menjadi kontradiktif terhadap jaminan perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam Pasal 28 UUD 1945 tersebut. Selain itu, melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005, Indonesia telah mengesahkan ratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Konvenan Sipol).
“Undang-undang itu juga menegaskan bahwa jenis pembatasan yang dapat dilakukan negara yang hanya dapat dilakukan sesuai hukum dan sepanjang diperlukan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain atau melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum,” kata Jono.
Oleh karena itu, kata Jono, AJI Indonesia menyatakan, kedua Undang-undang tersebut harus menjadi acuan utama dalam praktik Negara menjamin perlindungan dan Hak Asasi Manusia itu. Selain itu pemerintah juga menjamin segala bentuk ekpresi dan penyampaikan pendapat atau gagasan harus dijamin tanpa pembedaan apapun—termasuk pembedaan agama, politik atau pendapat lainnya.
Selain kontradiktif terhadap jaminan hak konstitusional UUD 1945 dan jaminan perlindungan hukum dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005, kata Jono rencana Pemerintah untuk mengambil langkah hukum pembubaran HTI juga didasari kesesatan cara berfikir parsial Polri. Inspektur Jenderal Setyo Wasisto Kepala Divisi Humas Polri mengatakan, HTI berbeda dengan FPI, karena HTI menyatakan menolak NKRI dan Pancasila, serta ingin membangun khilafah.
AJI Indonesia menilai pernyataan Setyo Wasisto menunjukkan cara berfikir yang parsial dan abai terhadap prinsip serta kaidah pembatasan kebebasan berekspresi. AJI Indonesia juga mempertanyakan komitmen pemerintah untuk menegakkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 (UU No 40/2008) tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis sebagai pelaksanaan dari perintah Konvenan Sipol, termasuk dalam wacana pembubaran HTI.
“Alih-alih menjalankan mekanisme hukum sebagaimana diatur UU No 40/2008, Pemerintah justru memilih menjalankan mekanisme hukum untuk membatasi hak berekspresi dan menyampaikan gagasan,” tambah Jono.
Bagi Jono, pemerintah saat ini bukan hanya menjalankan praktik diskriminasi terhadap warga negara, namun juga “diskriminasi”. Karena pemerintah memilih-milih aturan hukum apa yang ditegakkan dan aturan hukum apa yang dilumpuhkan.[]