DEPOK, KabarKampus – BEM Universitas Indonesia (BEM UI) mendesak Mahkamah Konstitusi membatalkan revisi kedua Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD alias MD3. Mereka berangapan Undang-undang tersebut dapat memberangus kebebasan berpendapat masayarakat.
“UU ini juga dapat membuat DPR menjadi lembaga yang sulit dijangkau oleh hukum,” kata M. Zaadit Taqwa, Ketua BEM UI dalam keterangan persnya, Selasa, (20/02/2018).
Menurut Zaadit, ada sejumlah kejanggalan dalam revisi UU MD3 tersebut. Kejanggalan itu ada pada pada Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3.
“Pasal 73 ayat (3) mengatur bahwa DPR berhak menggunakan Polri untuk melakukan pemanggilan paksa terhadap seseorang yang tidak hadir setelah dipanggil secara patut dan sah oleh DPR sebanyak tiga kali,” ungkapnya.
Kemudian kata Zaadit, pada ayat (4) huruf a dan c pasal yang sama mengatur mengenai mekanisme pemanggilan paksa oleh Polri. Mulai dari permohonan DPR kepada Kapolri sampai pemberian perintah oleh Kapolri kepada Kapolda untuk menghadirkan subyek yang dipanggil paksa oleh DPR.
Selanjutnya menurut mahasiswa Prodi Fisika ini adalah pada Pasal 122 huruf k. Pasal ini memberikan wewenang kepada MKD untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
“Terakhir, Pasal 245 Ayat 1 membuat DPR menjadi sulit dijangkau oleh penegak hukum,” tambah Zaadit.
Dalam Pasal 251 Ayat 1 tersebut, ungkap Zaadit, mengatur pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas. Pemanggilan tersebut harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
Oleh karena itu, Zaadit dan kawan-kawan mendesak MK untuk segera membatalkan Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a, dan c, Pasal 122 huruf k, Pasal 245 ayat (1) UU MD3. Mereka juga menolak implementasi dari pasal-pasal tersebut.
“Ini demi mempertahankan budaya demokrasi yang sehat serta menghargai kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dilindungi oleh konstitusi, kami dengan penuh kesadaran dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi,” tegas Zaadit.[]