More

    Bias Overconfidence Martin Suryajaya, Perihal “Menerjemahkan” Puisi ke dalam Kalkulus Predikat

    ————–
    Catatan:
    ————–

    1. EPISTEMOLOGI DINAMIS KARL RAIMUND POPPER

    Begini skema epistemologi pemecahan masalah berdasarkan prinsip falsifikasi dari Karl Raimund Popper:

    Bila:
    P1 = Problem Awal
    TT = Teori Tentatif
    EE = Eliminasi Error (pembuangan kesalahan)
    P2 = Problem Akhir

    - Advertisement -

    Maka skema Epistemologi Pemecahan Masalah adalah:
    P1 —–> TT ——> EE ——–> P2

    Yang menarik dalam epsitemologi Popper bahwa pengetahuan itu bertumbuh lewat masalah. Masalah awal (P1) yang coba dipecahkan lewat TT (teori tentatif) dan dikritisi lewat tahap EE (eliminasi error) ternyata bias menghasilkan masalah baru (P2). Demikian seterusnya sehingga pengetahuan pun terus bertumbuh secara evolusioner, makin dalam dan makin luas, untuk mengantisipasi perubahahan alam dan kondisi sosial kemasyarakatan.

    Mungkin, epistemologi Popper bukanlah epistemologi yang memuaskan bagi mereka yang ingin menemukan satu “teori segalanya” bagi semua masalah, sebuah “narasi besar” yang dianggap mampu menjawab semua problem dalam narasi-narasi kecil, sebuah ideologi atau keyakinan yang diasumsikan secara revolusioner mampu memecahkan semua masalah manusia. Namun, setidaknya kita sekarang tahu, seperti pengertian kesadaran menurut teori chaos, bahwa pengetahuan manusia memang terbatas tetapi berpeluang untuk menjadi tak terbatas di dalam waktu—sama seperti kesadaran manusia sebagai titik atraktor yang berkembang menjadi tak terhingga di dalam ruang fase.

    1. MENGAPA KOMPUTER TAK AKAN BISA MEMBUAT PUISI MODERN ATAU KONTEMPORER?

    Sebelum komputer ada, David Hilbert mencoba menciptakan algoritma umum yang mampu membuktikan setiap persoalan matematika secara otomatis. Algoritma ini bertujuan membuat program yang mampu menentukan salah atau benarnya sembarang proposisi matematis.

    Pada tahun 1931, Kurt Godel memublikasikan teori ketaklengkapan yang terkenal itu untuk membuktikan bahwa prosedur algoritma yang dikehendaki David Hilbert tersebut tak akan pernah ada.

    Usaha untuk mendapatkan sebuah teori lengkap yang tersusun atas semua teori adalah sia sia. Godel membuktikannya dengan pendekatan kalkulus predikat yang diterapkan pada bilangan asli. Hasil pembuktian itu menyatakan bahwa sebuah proposisi matematis untuk bilang asli (natural) tidak dapat dibuktikan kebenarannya maupun tidak dapat dibantah di dalam sistem logika yang mungkin dibangun oleh manusia.

    Formalisasi argumen teori ketaklengkapan Godel serta penjelasan dan formalisasi itu selanjutnya merupakan salah satu pencapaian intelektual terbesar abad ke-20—sejajar dengan teori umum relativitas dari Einstein dan teori ketakpastian dari Heisenberg. Bahkan Einstein sendiri menaruh apresiasi yang dalam terhadap pencapaian intelektual Godel.

    Konsekuensi dari teori ketaklengkapan di bidang kecerdasan buatan (yang menjadi inti “otak” program super komputer saat ini) cukup mengejutkan: sebuah penalaran logika tidak akan bisa sepenuhnya diformulasikan, selalu diperlukan sebuah sistem pengetahuan yang lebih luas dan mendalam untuk memahami sembarang sistem logika yang, uniknya, harus datang dari luar sistem tersebut.

    Sebagai contoh, sebuah kata di dalam kamus bahasa tertentu bisa memiliki lebih dari satu definisi (makna denotatif). Namun, makna satu kata itu selalu terhubung dengan kata-kata lain dalam kamus tersebut. Pengguna kamus harus memahami setidaknya beberapa kata dalam kamus tersebut untuk memahami kata yang tidak dipahami definisinya itu. Program komputer saat ini belum bisa “memahami” bahwa makna satu kata bisa lebih dari satu makna. Belum lagi ditambah pemahaman bahwa satu kata bisa juga memiliki makna kias.

    Program komputer saat ini dibangun oleh sistem kebenaran tunggal atau tautologi monistik: “Bila A benar, maka B mesti salah. Tidak mungkin keduanya benar.” Itulah logika biner, logika 1 atau 0 dari bahasa mesin, logika benar atau salah, yang menjadi dasar dari logika komputer saat ini. Komputer hanya bisa menerima satu makna kata dan tak bisa menerima dua atau lebih makna kata dalam satu saat yang sama. Komputer tidak bisa memahami prinsip keesaan atau simultanitas dalam logika parakonsisten atau hipotesis logika presensionis. Dan itu berarti komputer tidak akan pernah mampu membuat puisi modern atau kontemporer yang dibangun oleh prinsip kontradiksi—koheren sekaligus inkonsisten (tetapi bukan absurd)—di dalam logika parakonsisten yang, menurut saya, justru merupakan dasar berpikir kreatif manusia.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here