- BILA KECERDASAN BUATAN BUKAN KHAYALAN
Tahun lalu ada seorang teman yang merasa amat terkejut tentang beberapa pernyataan saya di Facebook perihal kecerdasan buatan. Ia terkejut sebab saya menyatakan bahwa pada masa depan kemungkinan besar komputer bisa berpikir sendiri seperti manusia akibat kemajuan teknologi kecerdasan buatan. Ia menyatakan bahwa itu semua tidak mungkin dan saya sedang berkhayal secara kelewatan. Lalu, setelah diskusi beberapa saat di inboks Facebook, saya menyodorkan alamat internet dari situs “The Allen Institute for Artificial Intelligence (AI2)”—sebuah lembaga yang didirikan oleh Paul G. Allen (salah satu pendiri Microsoft) yang sekarang sedang mengembangkan program komputer LEVAN. Program ini merupakan jenis kecerdasan buatan yang mampu “belajar” atau “mengajari dirinya sendiri” tentang segala hal yang ada di dalam situs-situs di internet. Apa artinya itu? Artinya, LEVAN menggunakan situs-situs di internet untuk belajar segala sesuatu yang perlu “diketahuinya”. Misalnya, LEVAN belajar dari situs Google Books tentang berbagai frasa umum terkait konsep tertentu, kemudian mencari frasa tertentu di direktori gambar web seperti Google Images, Bing, dan Flickr. Jadi, LEVAN sekarang tahu bahwa frasa “tinju kelas berat”, “ring tinju”, dan “petinju Ali” adalah bagian dari konsep yang lebih besar yaitu konsep “tinju”.
Bahkan, lebih dari itu, saat ini LEVAN juga telah mengetahui kategori konsep umum hanya dengan menggunakan teks dan gambar referensi di situs-situs internet. LEVAN telah “belajar” bahwa kata-kata atau frasa tertentu memiliki makna yang sama, meski secara grafem berbeda. Misalnya, ia telah belajar bahwa “Mohandas Gandhi” dan “Mahatma Gandhi” adalah sub-konsep “Gandhi”. Dan itu berarti LEVAN telah belajar bahwa mereka, Mohandas Gandhi dan Mahatma Gandhi, adalah orang yang sama.
The Allen Institute for Artificial Intelligence (AI2), yang kantor pusatnya berada di Seattle, Amerika Serikat, berisi orang-orang muda yang cerdas dan berbakat dalam bidang pemrogaman komputer, linguistik, logika dan epistemologi, teknik, teori khaotik dan sistem kompleks dari berbagai negara. Nah, pada saat orang-orang di negeri ini sibuk mengatakan bahwa “tidak mungkin” pada masa depan “sebuah komputer” bisa berpikir sendiri dan mencipta secara kreatif layaknya manusia, bahkan melebihi manusia, sebuah lembaga mungil seperti AI2 justru sedang membuktikan bahwa hal itu mungkin.
Saat ini ada tiga tahapan kecerdasan buatan yang sedang dirancang oleh para pakar kecerdasan buatan, tahap pertama yaitu: narrow artificial intelligence (NAI), kecerdasan buatan yang spesifik pada hal tertentu. Saat ini hampir semua peralatan modern menggunakan teknologi NAI: gadget, mobil injeksi, news feed dan suggested friend di Facebook, dll. Pemain game scrabble dan catur terbaik di dunia saat ini adalah program NAI.
Tahap selanjutnya adalah general artificial intelligence (GAI), yakni kecerdasan manusia. Ada beberapa cara yang sedang dicobakan untuk membuat GAI, termasuk sistem belajar sendiri dari komputer yang dikerjakan oleh Paul Allen dan para pakarnya di AI2. Lalu tahap berikutnya adalah super artificial intelligence (SAI)—kecerdasan “para dewa”. Hal ini di luar pemikiran khayal manusia sekali pun, yang bisa memberi sebutan jenius untuk IQ 160 hingga 230, tapi tidak punya sebutan untuk IQ 20.578 yang diperkirakan akan dimiliki oleh SAI. Stephen Hawking, Elon Musk, dan Bill Gates telah mewanti-wanti bahwa ancaman bahaya terbesar bagi peradaban manusia bisa datang dari SAI. Sebab, bila SAI benar terwujud pada masa datang, maka tak ada yang bisa memastikan bahwa “kendali” terhadap teknologi itu masih tetap ada pada manusia atau justru ada pada teknologi itu sendiri. Juga tak ada yang bisa memastikan apakah SAI dapat memahami pertimbangan etis dan membuat keputusan etis.
Meski kemungkinan terjadinya bencana peradaban manusia dari SAI itu patut diwaspadai, tetapi para pakar kecerdasan buatan saat ini tahu bahwa untuk mewujudkan teknologi dari NAI ke GAI susahnya bukan main—bahkan hampir mustahil. Mungkin butuh puluhan atau ratusan tahun lamanya untuk mentransformasi teknologi dari NAI ke GAI. Namun, diperkirakan transformasi dari GAI menuju SAI bisa terjadi dalam hitungan jam saja. Dengan kemampuan belajar GAI yang digerakkan oleh multi-prosesor-super, akses informasi tanpa batas di internet, plus energi tanpa kenal lelah dan tidak pernah tidur, maka GAI bisa menjelma menjadi SAI kapan saja.
Namun, menurut hipotesis saya, teknologi GAI dan apalagi SAI tidak akan terwujud sebelum manusia dapat menemukan satu sistem epistemologi di luar sistem biner. Karena sistem itu—epistemologi baru di luar sistem biner—adalah sistem kreatif, maka sistem tersebut haruslah berupa sistem terbuka, bukan sistem tertutup seperti yang ada dalam metabahasa program komputer sekarang. Proses berpikir manusia, yang mau ditiru oleh teknologi kecerdasan buatan itu, bukan cuma soal memori (data) dan prosesor saja, tetapi juga soal sistem logika untuk menentukan suatu keputusan. Sistem pengambilan keputusan dalam bahasa logika kita sekarang masih “primitif” dalam konteks epistemologi, karena hanya mengandalkan pada empat kriteria kebenaran yaitu: korespondensi, koherensi, pragmatisme, dan ucapan performatif (performative utterances). Keseluruhan sistem epistemologi itu masih monistik, dalam arti hanya dapat menerima satu kebenaran saja dalam satu kondisi, dan tak dapat menerima kebenaran dari kontradiksi sebagai kebenaran yang plural. Misalnya, kata “bisa” memiliki makna yang sama benarnya dalam arti “dapat” dan “racun ular”. Kedua makna kata “bisa” itu keduanya secara simultan benar, tergantung pada penerapan konteks kalimatnya, dan hal itu jelas melanggar aturan kriteria konjungsi dalam prinsip koherensi logika matematika, yaitu A dan -A, yang menjadi basis pengambilan keputusan dalam pemrograman komputer saat ini.
Itu baru dalam konteks berpikir, belum dalam konteks “mencipta”—seperti mencipta teori sains baru atau mencipta puisi—yang membutuhkan kreativitas. Misalnya, bagaimana algoritma pemrogaman untuk model berpikir Einstein sewaktu memutuskan menggunakan temuan geometri non-euclidis dari Reimann menjadi basis dari teori relativitas umum. Atau, bagaimana algoritma dari sistem berpikir Chairil Anwar sewaktu memutuskan menggunakan kata “jalang” dan “terbuang” yang memiliki kesamaan rima “-ang”, sekaligus memiliki kohesi makna kata, di dalam larik puisinya ini: “Aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang.”
Oleh karenanya, hipotesis saya, SAI bahkan GAI tidak akan tercipta sebelum manusia dapat menemukan satu sistem epistemologi baru di luar sistem biner, epistemologi keserentakan, epistemologi presensionis yang memungkinkan komputer bisa berpikir kreatif—bisa mencipta puisi seindah puisi surealis “The Heights of Macchu Picchu'” karya Pablo Neruda, penyair komunis dari Chili, yang meraih penghargaan Nobel Sastra pada tahun 1971. Dan ketika sebuah komputer telah mampu menciptakan sebuah puisi surealistik atau imajistik yang indah, itulah saatnya penghargaan Nobel Sastra ditiadakan.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>