BANDUNG, KabarKampus – Kegiatan Global Land Forum (GLF) yang diselenggarakan di Gedung Merdeka,Kota Bandung mendapat penentangan dari sejumlah pihak. Salah satunya dari Aliansi Rakyat Anti Penggusuran (ARAP).
ARAP beranggapan GLF yang digelar oleh Internasional Land Coalitation (ILC) merupakan pesta rakyat palsu yang digelar untuk memberi pembenaran atas langkah-langkah penyingkiran hak rakyat atas tanah. Baik pencaplokan yang sedang berlangsung, maupun yang akan terjadi.
Hal ini diungkapkan ARAP dalam aksi yang digelar di Jalan Asia Afrika, Bandung, Senin, (24/09/2018). Aksi tersebut sekaligus memperingati Hari Tani Nasional yang bertepatan pada tanggal 24 Septermber.
Akmaludin, juru biacara ARAP mengatakan, disadari atau tidak, kegiatan GLF berada di bawah kendali agen imperialis neoliberal seperti Bank Dunia dan Internasional Fund for Agriculture Development (IFAD). Karena Bank Dunia dan IFAD terlibat dalam pembentukan ILC yang sebelumnya bernama Popular Coalition to Eradicate Hunger Poverty.
“Sehingga alih-alih mempengaruhi kebijakan soal keadilan agrarian secara radikal, gagasan-gagasan mereka malah menjadi santapan rentenir-rentenir global untuk kemudian dimoderasi dan bahkan dikooptasi demi kepentingan kapitalisme global,” kata Akmal.
Akmal menjelaskan, seluruh anggota ILC kategori organisasi antar pemerintah seperti ICRAF, ILRI, IFRI dan IWMI) pada kenyataannya saling bekelindan dan punya hubungan dengan Bank Dunia. Mereka tergabung dalam International Agricultural Research (CGIAR) yang donator terbesarnya adalah Bank Dunia.
Bank Dunia juga tambah Akmal, memberikan dana sebesar 1,5 Juta dollar AS kepada ILC pada awal pembentukannya. Namun dana tersebut disalurkan melalui IFAD, karena ILC tidak memiliki status hukum untuk menerima dana dari Bank Dunia.
“Sebagaimana kita tahu, Bank Dunia bukanlah lembaga amal yang membagikan uang pada Negara-negara miskin secara cuma-cuma. Negara-negara penerima dana dari Bank dunia harus didikte sesuai arahan Bank Dunia,” ungkap Akmal.
Seperti Indonesia, menurut Akmal terutama pada masa Orde Baru dan Pasca Reformasi telah didikte oleh Bank Dunia. Kemudian saat ini hutang Indonesia terkait pertanahan pada rezim Jokowi, dua kali lebih besar daripada tiga proyek hutang rezim sebelumnya.
Persoalan Lain ILC
Nanang Kosim menambahkan, persoalan lain ILC adalah komposisi Dewan ILC. Dari 16 orang, 10 orang merupakan perwakilan organisasi masyarakat sipil di tiga wilayan, 6 orang mewakili lembaga- lembaga antar pemerintahan atau lembaga di bawah naungan CGIAR. Dewan ILC saat ini, 1 orang dari IFAD, 2 orang dari Bank Dunia, 1 orang dari IFPRI, 1 orang dari UNEP dan 1 orang dari FAO.
“Melihat komposisi tersebut dan kedudukan direktur ILC yang istemewa, maka jangan harap ILC dapat menghasilkan keputusan-keputusan dan kebijakan yang bebas dari kepentingan modal dan koorporasi,” tambah Nanang yang merupakan mahaiswa UIN Bandung ini.
Selain itu ungkapnya, jangan heran juga jika tujuan yang hendak dicapai ILC sejalan dengan strategi-strategi perubahan kebijakan pertanahan global yang sedang terus didorong oleh Bank Duia. Terutama ke sejumlah Negara penerima hutang mereka.
Oleh karena itu bagi Nanang mewakili ARAP, pertemuan GLF 2018 hanya menjadi pembenaran dalam upaya mengubah kebijakan pertanahan Indonesia menjadi pro pasar, investasi, dan koorporasi dalam menguasai tanah skala besar. Selain GLF juga menjadi ajang kooptasi dan pembenaran bagi rumusan-rumusan kebijakan tanah yang sudah mereka susun.
Sejumlah elemen yang tergabung dalam ARAP diantaranya Forum Juang Taman Sari, Dago Bersatu, Kolektifa, Pembebasan KK Bandung, Aksi Kaum Muda Indonesia, Kolektif Anging Malam, Aliansi Mahasiswa Papua, Bandung Supporter Alliance, Metaruang, Komite Aksi Mahasiswa UIN Bandung, Sebumi-KASBI, Perpustakaan Jalanan Bandung, HMI Syariat Unisba, dan Aliansi Pelajar Bandung.[]