More

    Gerakan Masyarakat Sipil Transnasional

    II. PENTINGNYA TEORI DALAM PRAKTEK AKTIVISME DAN GERAKAN SOSIAL

    Pada bagian ini akan didiskusikan tentang pentingnya (ber)teori dalam praktek aktivisme dan gerakan sosial, begitupun sebaliknya, pentingnya (ber)praktek dalam berteori aktivisme dan gerakan sosial. Dalam mendiskusi relasi antara teori dan praktek, maka konsep “Praxis” menjadi perlu untuk dirujuk. Praxis adalah proses di mana teori, pelajaran, atau keterampilan diberlakukan, diwujudkan, atau direalisasikan. Juga merujuk pada tindakan melibatkan, menerapkan, melatih, mewujudkan, atau mempraktekkan gagasan. Menjadi topik berulang dalam filsafat dan dibahas oleh Plato, Aristoteles, St. Augustine, Francis Bacon, Immanuel Kant, Søren Kierkegaard, Karl Marx, Antonio Gramsci, Martin Heidegger, Hannah Arendt, Paulo Freire, Ludwig von Mises, dan lainnya[16].

    Praxis mengacu pada aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang bebas. Aristoteles berpendapat ada tiga aktivitas dasar manusia: theoria (berpikir), poiesis (berproduksi), dan praxis (bertindak). Berkesesuaian dengan tiga jenis pengetahuan: teoritis, dengan tujuan akhir kebenaran; poietical, dengan tujuan akhir adalah produksi; dan praktis, dengan tujuan akhir adalah aksi (Smith, M. K., 1999 & 2011 dalam wikipedia).

    - Advertisement -

    Filsuf Hegelian August Cieszkowski (1838) menjadi salah satu filsuf paling awal menggunakan istilah praxis sebagai “tindakan yang berorientasi pada perubahan masyarakat” dalam Prolegomena zur Historiosophie atau Prolegomena to a Historiosophy. Sosialis Abad 19 Antonio Labriola menyebut Marxisme sebagai “filsafat praksis”. Gambaran tentang Marxisme ini muncul lagi dalam Prison Notebooks-nya Antonio Gramsci dan tulisan para anggota Sekolah Frankfurt[17].

    Singkatnya, Praxis menuntut kita untuk menjadi pembelajar dari pengalaman dan konteks kita sendiri[18]. Untuk mendasari pendiskusian ini maka perlu merujuk pada pemikiran tokoh-tokoh yang memang berpengaruh untuk menyadarkan tentang pentingnya teori dan praktik, untuk itu ada tiga pemikir yang dibahas disini, Karl Marx, Antonio Gramsci, dan Robert W. Cox. Marx adalah filsuf yang pemikirannya mendasari kajian-kajian kritis dan berpengaruh sampai Gramsci (disebut Neo-Marxist), yang kemudian juga mempengaruhi Cox yang disebut Neo-Gramscian.

    Wolfgang Schieder menulis di salah satu bukunya yang ditujukan untuk Marx sebagai seorang politikus, “seluruh pemikirannya pada dasarnya diarahkan pada praksis politik” (1991, 16)[19]. Marx (1844) menulis bahwa “Filsafat hanya dapat diwujudkan dengan penghapusan proletariat, dan proletariat hanya dapat dihilangkan oleh realisasi filsafat” (Marx, 1963: 59) [20]. Nasehat Marx bagi para teoretisi adalah “tidak hanya menafsirkan dunia tetapi mengubahnya”, dorongan praksis Marxis adalah transformasi subjektivitas melalui proses tindakan manusia atau kerja pada objek, dijelaskan dalam filsafat Marx menggunakan dialektika Hegelian yang direvisi dan konkrit[21]. Marx juga dikenal sebagai pemikir yang mentransformasikan teologi Feuerbachain ke radisi epistemologis materialis[22].

    Berbagai bentuk pravis telah mengikuti praxis Marx yang sosial, produktif, dan revolusioner yang berusaha memfasilitasi transformasi kognitif agar kemanusiaan menyeluruh dapat diwujudkan dan diekspresikan. Secara umum, dalam praxis mendorong untuk we are aware of more than we know atau “kita menyadari lebih dari yang kita ketahui”. Marx meletakkan dasar penting dari praxis Marxisme sebagai proyek transformasi masyarakat. Marx memiliki konsepsi praktis tentang sejarah sebagai proses transendensi realitas berkelanjutan yang tak ada habisnya[23].

    Filosofi praksis sangat penting saat ini sebagai upaya paling maju dalam Marxisme untuk merefleksikan konsekuensi rasionalisasi masyarakat di bawah kapitalisme. Ia yang pertama mengangkat pertanyaan filosofis mendasar tentang sains dan teknologi dari sudut pandang kritis dan dialektis. Menyerang kapitalisme bukan pada titik-titik lemahnya, seperti ketidaksetaraan dan kemiskinan, tetapi pada titik-titik terkuatnya: rasionalitas pasar dan teknik manajemennya, gagasan kemajuannya, efisiensi teknologinya. Tetapi ia tidak menolak rasionalitas seperti itu. Sebaliknya, filsafat praksis berani merumuskan “kritik rasional atas rasionalitas” yang mengidentifikasi kekurangan dalam pencapaian modernitas dan mengusulkan alternatif yang rasional di atas dasar yang baru[24].

    Gramsci menggunakan frasa “filsafat praksis” sebagai kode untuk Marxisme dalam Prison Notebooks. Menandakan interpretasi Marxisme dalam menempatkan semua pengetahuan pada konteks budaya, berdasarkan pada perspektif kelas spesifik. Gramsci menyebut “historisisme absolut”, mengkarakteristikan Marxisme Hegelian dari karya awal Marx, Lukács, Korsch, Bloch, dan Mahzab Frankfurt[25]. Filsafat praksis muncul untuk pertama kali sebagai konsep inti proyek Gramscian. Dalam filsafat praksis, semuanya praksis, berada di antara struktur dan suprastruktur; pembentukan posisi dialektis dari aktivitas politik sebagai diferensiasi dalam superstruktur.

    Pertanyaan tentang hubungan antara teori dan praksis merupakan perhatian utama bagi Teoretisi Kritis. Salah satu klaim utama dari Teori Kritis adalah banyaknya kesamaran dalam semua hal, dalam ringkasan rapi Cox disebutkan “semua teori adalah untuk seseorang dan untuk tujuan-tujuan tertentu” (Cox 1981, 128). Cox menggambarkannya sebagai ‘teori pemecahan masalah’, Teori Kritis sadar akan hubungan intim antara dunia teori dan dunia sosial yang diduga abstrak. Teori Kritis berkomitmen untuk mengembangkan pemahaman tentang dunia yang mendorong perubahan sosio-budaya, ekonomi dan politik emansipatoris.

    Cox menggambarkan tugas dari Teoritik Kritis menyediakan ‘panduan untuk tindakan strategis dalam membawa suatu tatanan alternatif’ (Wyn Jones, 1995). Cox berpendapat (dalam Chase Dunn et al. 1994), ideologi, dalam interpretasi Marxis umum, memberikan hubungan fungsional antara basis dan suprastruktur. Hubungan erat antara teori dan praktik politik masih tampak menjadi keasyikan/konsentrasi besar bagi Cox. Cox menyatakan bahwa konsep “social forces” belum presisi, masih samar atau belum jelas, konteks spesifik sifat dari kekuatan sosial tersebut masih dalam investigasi. Belum didefiniskan dan harus ditemukan. Menurutnya, ini akan menjadi kebalikan dari apa yang dilakukan oleh pendekatan Sistem-Dunia, dengan “konsep-makro” yang apriori dan didefinisikan dengan baik.

    Cox enggan untuk menunjuk dan menjelaskan kekuatan sosial atau gerakan politik tertentu yang dapat melakukan peran sebagai calon subyek revolusioner di dunia saat ini. Cox menyarankan dan memperingatkan gerakan kontra-hegemonik dari bawah harus “menjadi kuat dalam kemampuan mereka melawan cara-cara sederhana untuk dikooptasi”[26].

    Dari Marx, Gramsci, dan Cox, akhirnya kita dapat simpulkan bahwa hubungan antara teori dan praksis adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Bagi Aktivis, berteori dalam arti merumuskan praktek dalam abstraksi sebagai panduan bergerakan sosial menjadi penting.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here