
BANDUNG, KabarKampus – Kawasan hutan di Kabupaten Bandung dan Garut telah banyak mengalami banyak kerusakan. Mulai dari kawasan lindung hingga kawasan konservasi, bahkan di dalam kawasan dengan level Cagar Alam.
Namun sayangnya alih-alih mendukung masyarakat dalam upaya penyelamatan kawasan Cagar Alam. Pemerintah justru mengeluarkan SK 25 KLHK tahun 2018 yang mengubah dan menurunkan lebih dari 4000 Ha luasan Cagar Alam Kamojang dan Papandayan dari fungsi Cagar Alam menjadi Taman Wisata Alam.
“Padahal, Cagar Alam secara ekologis maupun fungsi kawasan formal adalah satu-satunya level kawasan yang sama sekali tidak memberikan toleransi terhadap pemanfaatan langsung, sehingga kegiatan serupa rekreasi atau wisata pun tidak diperbolehkan di dalam kawasan Cagar Alam,” kata Dedi Kurniawan, mewakili Aliansi Cagar Alam Jawa Barat, dalam konferensi pers yang digelar di KaKa Café, Bandung, Rabu, (23/01/2019).
Namun celakanya, kata Dedi dari kronologi penerbitan SK menyebutkan, motivasi perubahan fungsi luasan tersebut adalah untuk melegalkan eksplorasi tambang panas bumi di kedua kawasan Cagar Alam tersebut. Artinya, SK itu bukan hanya melegalkan motor trail dan wisata yang selama ini dilarang, namun juga menambang kawasan tersebut menjadi legal.
“Setiap praktek tambang panas bumi yang melibatkan alat-alat berat kemudian legal memasuki kawasan Cagar Alam,” ungkap Dedi yang merupakan Ketua BP Forum Konservasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Jawa Barat ini.
Tentunya, terang Dedi, penurunan status kawasan ini tidak bisa diterima. Selain karena faktor ekologis dengan mempertimbangkan fungsi kawasan, juga akan menjadi preseden buruk, baik bagi upaya konservasi yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat.
Kemudian juga, tambah Dedi, SK ini juga menjadi preseden buruk bagi kawasan lain di bawah level Cagar Alam dan di bawah level kawasan konservasi. Sebab, fungsi kawasan setingkat Cagar Alam pun ternyata tunduk demi kepentingan di luar ekologi, apalagi kawasan lain yang secara formal tidak dilindungi sebagaimana ketatnya kawasan Cagar Alam.
Sementara itu, Pepep DW, dari Komunitas Save Ciharus menjelaskan Cagar Alam adalah satu-satunya harapan dan benteng terakhir kelestarian alam secara ekologis. Sebab ketika kawasan lain di luar Cagar Alam (seperti produksi dan lindung) memberikan toleransi pemanfaatan langsung, hanya Cagar Alam-lah yang secara formal dan fungsional menutup kemungkinan itu.
Sehingga Pepep mewakili Aliansi Cagar Alam Jawa Barat, menyatakan menolak dan mendesak pemerintah mencabut SK 25 KLHK 2018. Selain itu juga mereka menuntut dilakukan investigasi terhadap kemungkinan pelanggaran di dalam kawasan Cagar Alam sebelum terbit SK dan menuntut ditegakkannya supremasi cagar alam sebagai level tertinggi kawasan konservasi.
“Kami menuntut dipastikannya kelestarian Cagar Alam di Jawa Barat dan Indonesia pada umumnya, baik dari ancaman penurunan status kawasan, maupun intervensi-intervensi lainnya yang diakibatkan tidak beroperasinya supremasi hukum Cagar Alam,” kata Pepep.
Selain FK3I Jawa Barat dan Komunitas Save Ciharus hadir juga menyatakan sikap bersama Aliansi Cagar Alam Jabaryakni Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat (Walhi Jabar) dan Pro Fauna.[]






