Penulis : Jipo Hari
BANDUNG, KabarKampus – Program Kartu Pra-Kerja yang sering disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pasca pidato kebangsaannya pada 24/2 lalu, memunculkan banyak pro dan kontra di masyarakat. Sebagai contoh, 73% dari total 10.340 orang warganet yang mengikuti poling detik.com mengenai program tersebut menunjukkan ketidaksetujuan atau ketidakyakinan.
Tampak dari kolom komentar poling, rata-rata mereka yang tidak setuju meyakini program ini hanya akan membuat pengangguran bertambah malas mencari kerja. Alasan kedua, banyak kewajiban pemerintah yang belum dipenuhi, misal, menutup defisit BPJS yang jumlahnya mencapai trilyunan dan meningkatkan kesejahteraan para guru honorer yang masih memprihatinkan.
Alasan ketiga, mereka mempertanyakan masalah pendanaan dan pertimbangan logis. Pertanyaan mereka, jika defisit BPJS maupun perbaikan kesejahteraan guru/tenaga honorer saja masih belum mampu ditutup APBN, dari mana pendanaan untuk menggaji pengangguran? Di lain sisi, bukankah membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya lebih masuk akal untuk dilakukan ketimbang menggaji pengangguran?
Karena argumen dan pertanyaan ini, sebagian besar mereka yang kontra menganggap program Kartu Pra-Kerja tak lebih dari kecap kampanye untuk menaikkan elektabilitas Jokowi pada Pilpres 2019 nanti. Kalaupun Jokowi kembali terpilih, mereka yakin program ini tak akan berjalan.
Banyaknya pro dan kontra yang terjadi ditanggapi oleh Furqan AMC, Direktur Strategi dan Program Rumker 01 Jawa Barat yang kami minta pendapatnya pada kesempatan temu media di kantor beliau, Jalan Sindang Sirna 38, Bandung, Jumat, 8/3 2019 lalu. Memulai tanggapannya, Furqan menduga masyarakat yang kontra tidak mengetahui latar belakang gagasan Kartu Pra-Kerja.
“Latar belakang program ini adalah banyaknya angkatan kerja yang gagal bersaing mendapatkan pekerjaan. Pemerintah menilai itu disebabkan karena masalah kurang persiapan dan keterampilan. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka pemerintah ingin membantu mereka dengan meningkatkan kemampuan bersaing mereka. Bantuan ini akan dilakukan melalui berbagai program pelatihan, pendidikan vokasi, pendirian BLK dan lain sebagainya,” jelas Furqan.
Menyambung penjelasannya, Furqan lalu menyoroti pemakaian istilah “gaji pengangguran” dan berpendapat kalau istilah tersebut juga contoh kesalahkaprahan.
Menurut Furqan, Presiden hanya pernah mengatakan “Semacam gaji atau honor,” artinya bisa saja nanti bentuknya cuma insentif sementara. Presiden juga tidak pernah memaksudkannya untuk semua pengangguran. “Gaji” yang dimaksud presiden hanya akan diberikan pada mereka yang berhak menerima Kartu Pra-Kerja saja .
“Siapa saja yang berhak menerima Kartu Pra-Kerja? Kalau kita baca informasi yang ada sampai saat ini, nantinya penerima kartu hanya mereka yang baru lulus sekolah SMA/SMK atau kuliah dan sedang mencari pekerjaan. Itupun kalau mereka telah mengikuti program pelatihan serta pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah,” kata Furqan.
Kemudian, menanggapi pertanyaan kami tentang masyarakat yang mempertanyakan atau meragukan sumber pendanaan, Furqan menyarankan agar masyarakat mau bersabar sampai informasi mengenai program kartu Pra-Kerja dipaparkan pemerintah lebih jelas.
Jika hanya berdasarkan informasi yang beredar sampai saat ini, bahwa pendanaan akan dialokasikan dari anggaran 20 persen untuk pendidikan dalam APBN, menurut Furqan tak ada seorang pun mestinya bisa menyimpulkan kemampuan atau ketidakmampuan pemerintah untuk membiayai program kartu Pra-Kerja, termasuk apakah program tersebut akan membebani APBN atau tidak.
“Sumber pendanaannya pasti akan melalui rancangan dan kajian mendalam. Agar tidak apriori tanpa dasar, jadi mari kita bersabar dulu sampai informasi yang lebih jelas tentang mekanisme pelaksanaan program ini tersedia,” kata Furqan.
Sebagai penutup, Furqan lantas mengajak masyarakat membiasakan diri untuk mencari informasi yang benar dan berimbang jika ada gagasan atau rencana yang dikeluarkan pemerintah. Kebiasaan menyimpulkan sebelum ada informasi yang cukup, apalagi kalau hanya dilatarbelakangi pilihan politik belaka, kata Furqan, bukanlah mencerminkan sikap warga negara yang dewasa.[]