More

    Memahami Sistem Politik Global di GSC

    Imanha

    BANDUNG, KabarKampus – Dunia sudah jauh berubah. Banyak negara-negara yang merdeka, termasuk Indonesia. Penjajahan model tradisional seperti era kolonial telah lama ditinggalkan. Meski demikian ada bentuk penjajahan lain yang tujuannya sama kolonialisme, yakni negara yang kuat menguasai negara yang lemah. Bagaimana dengan posisi Indonesia?

    Pengamat internasional Desmond Satria Andrian mengatakan, di zaman kolonial negara penjajah memakai pola relasi triangular selama menjalankan penjajahannya. Jika digambarkan dalam peta dunia, pola ini berupa segitiga yang menghubungkan antara benua Afrika, Eropa dan Amerika.

    - Advertisement -

    Segitiga tersebut menggambarkan pengangkutan para budak dari Afrika ke Amerika Serikat. Di sana mereka dipekerjakan di perkebunan kapas. Hasil panen kapas kemudian dibawa ke Eropa untuk diproduksi menjadi pakaian atau kain. Selanjutnya pakaian dan kain dijual ke Afrika atau ke negara koloni. Posisi Eropa masa itu sebagai mother colonies countries.

    Kata Desmond, pola perbudakan di masa lalu itu tergambar dalam lagu Bob Marley Buffalo Soldier yang satu baris liriknya berbunyi “Direnggut dari Afrika, diboyong ke Amerika”. Pola pengambilan sumber alam dan dijual kembali ke negeri asal sumber daya alam tersebut masih terjadi kini. Bedanya, sekarang produk-produk dibikin di negara masing-masing (bekas koloni), namun investornya tetap dari luar negeri, yaitu dari mother colonies countries.

    Negara dengan status mother colonies countries tidak bisa lagi memproduksi sendiri di pabriknya seiring semakin menguatnya partai buruh di sana. Para buruh berhasil menuntut kesejahteraan dan upah mahal. Tingginya upah buruh mendorong pemindahan produksi ke negara-negara yang upah buruhnya masih murah, yaitu di negeri-negeri berkembang seperti Indonesia.

    Desmond lalu membeberkan, negara-negara di dunia terbagi dalam negara maju, berkembang dan terbelakang. Indonesia masuk dalam negara berkembang. Sementara negara terbelakang banyak di benua Afrika. Pemetaan ini setidaknya terjadi sejak 1960-an ketika banyak negara-negara yang kaya mendadak karena produksi minyak bumi melimpah. Amerika sebagai adidaya sampai memilki banyak sekali stok minyak bumi. Mereka juga sangat dekat dengan negara-negara minyak di Timur Tengah.

    “Saat itulah muncul negara-negara kaya, di saat yang sama muncul juga negara miskin,” kata Desmond, saat menyampaikan materi pada peserta Pendidikan Dasar VI Geostrategy Club (GSC) di Kaka Café, Bandung, Minggu (8/12/2019).

    Awalnya, negara-negara miskin mengira kemiskinan terjadi karena faktor internal seperti tidak menerapkan kebijakan ekonomi yang benar, sistem politik yang otoriter, dan tingginya korupsi. Hal ini pernah dialami Indonesia ketika dipimpin penguasa Orde Baru, Soeharto. Namun kini tiga alasan itu dinilai tidak lagi relevan. Ada alasan lain yang lebih bersifat eksternal, yakni berupa pembiaran oleh negara-negara maju.

    “Ada teori bahwa semua negara maju sengaja membiarkan sistem otoriter di negara miskin terjadi, supaya investasi tetap berjalan baik, modal kembali. Mereka tahu Suharto otoriter. Tapi investasi membutuhkan stabilitas politik dan buruh tidak menuntut kenaikan gaji,” terang kurator  Museum Konperensi Asia Afrika tersebut.

    Adalah para aktivis di Amerika Latin yang mencetuskan dugaan faktor eksternal sebagai penyebab kemiskinan suatu negara. Amerika Latin merupakan wilayah yang paling dekat dengan mother countries. Mereka yakin ada sistem internasional yang mencegah negara miskin untuk maju. Sistem internasional tersebut bersifat mencegah, ekspoitatif dan mendominasi.

    Kata Desmond, sistem internasional mengeluarkan sejumlah aturan main yang lebih mementingkan negara-negara maju dan tidak pro pada negara lemah. Bentuk aturan main ini misalnya World Trade Organization (WTO), Washington Consensus, dan lain-lain.

    Sistem internasional bertujuan menciptakan ketergantungan negara-negara miskin pada negara maju. Di sini terdapat teori ketergantungan (defendent theory) yang membagi negara-negara di dunia ke dalam empat kelompok besar, yakni Centre of Centre (CC). Negara yang tergabung dalam kelompok CC ini ialah USA, UK, Prancis, Jerman yang semuanya masuk dalam Dewan Keamanan PBB.

    “Tugas mereka bikin aturan main terus kayak anak kecil, bikin monopoli. Ciri khas CC ini adalah negara kaya dan punya global power,” terang Desmond. Negara-negara kelompok CC mengembangkan riset dengan teknologi tinggi dan inovasi.

    Kelompok kedua adalah Periphery of Centre (PC) seperti Canada, Belanda, Spanyol dan lain-lain. Mereka negara kaya tapi kurang berpengaruh secara global. Kelompok ketiga ialah Centre of the Periphery (CP) seperti Brazil, Rusia, India, Cina. Dan kelompok paling buncit Periphery of Periphery (PP) yaitu negara seperti Kamboja, Laos dan negara-negara terbelakang lainnya.

    Dari empat kelompok tersebut terdapat pola hubungan saling melayani, yaitu PC melayani CC, CP melayani CC dan PC, dan PP melayani semuanya, CC, CP, dan PC. Di masing-masing kelompok negara terdapat kelompok-kelompok elit dan kelompok pekerja. Antar elit di empat kelompok tersebut saling bekerja sama dalam banyak hal, tujuannya untuk memperkuat posisi masing-masing.

    Desmond mengatakan, peran masing-masing kelompok negara terutama terlihat dalam sistem perdagangan internasional, lewat aturan-aturan yang dibuat mereka.

    “Semua yang melakukan perdagangan tidak dagang begitu saja. Dengan mengetahui struktur sistem internasional itu penting untuk merawat Indonesia,” kata Desmond. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here