BANDUNG, KabarKampus – Di masyarakat sudah lama muncul istilah nikah atau kawin agama, nikah siri, dan kawin di bawah tangan. Nikah dengan cara ini biasanya cukup disaksikan tokoh agama dan saksi-saksi, tanpa melakukan pencatatan resmi di Kantor Urusan Agama (KUA).
Tentu ada alasan mengapa nikah agama itu dilakukan, bisa karena tanggung sedang melanjutkan studi, jadi nanti pernikahan resmi dan perayaannya akan dilakukan setelah lulus. Ada pula yang memilih nikah agama dulu setelah itu baru mendaftar ke KUA.
Di sisi lain, di masyarakat juga masih sering terjadi pernikahan dini. Lagi-lagi perempuan yang dirugikan jika pernikahan dini terjadi. Sebab dari sisi hukum, baik nikah agama maupun pernikahan dini memiliki sejumlah konsekuensi yang tidak sederhana. Bahkan bisa berbahaya terutama bagi perempuan.
Salah satu bahaya pernikahan agama maupun pernikahan dini adalah perdagangan manusia (human trafficking). Pasundan-Durebang Women’s Crisis Center (WCC), organisasi yang mendampingi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, baru-baru ini menemukan pernikahan agama sebagai modus human trafficking dengan tujuan eksploitasi seksual.
“Perdagangan perempuan memakai berbagai cara atau modus, kadang dengan modus tak diduga seperti pernikahan. Apalagi pernikahannya tak dicatat di KUA,” kata Ira Imelda, Direktur Pasundan-Durebang WCC, di Bandung, Senin (16/12/2019).
Kasus terbaru nikah agama dan pernikahan dini yang didampingi WCC ialah perkara Va. Nama Va mencuat lewat video asusila bertitel “Vina Garut” yang mulai beredar luas pertengahan 2019 lalu. Kini, kasus video ini dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Garut. Va sendiri menjadi terdakwa bersama W, dan D.
Menurut pengacara Va, Asri Vidya Dewi, Va dinikahi secara agama oleh Asep Kusmawan alias Rayya (30). Saat itu, usia Va baru 16 tahun atau masih kanak-kanak. 31 Maret 2017, Asep mengajak Va berhubungan intim sambil direkam. Asep beralasan ingin mengoleksi video hubungan intimnya secara pribadi.
Selama menikah dengan Asep, Va biasa diajak nonton video-video porno. Selanjutnya, Asep mengajak Va berbuat asusila dengan teman-temannya. Tanpa sepengetahuan Va, Asep ternyata menjual istrinya itu kepada teman-temannya. Tak hanya itu, Asep juga merekam video adegan tersebut untuk dijual di situs internet atau media sosial.
“Va adalah korban perdagangan manusia yang seharusnya tidak menjadi terdakwa. Va jelas diperjualbelikan oleh suaminya,” kata Asri Vidya Dewi.
Ira Imelda melanjutkan, kasus trafficking yang memakai modus pernikahan ini sulit untuk dijerat Undang-undang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sebab, kelemahan undang-undang ini tidak mengakomodir perdagangan istri oleh suami seperti pada kasus Va.
“Kalau modus-modus lain sudah bisa terdeteksi unsur-unsur pidananya. Tapi yang paling sulit itu melalui pernikahan. Dinikahi kemudian dijual,” katanya.
Berkaca dari kasus Va, Ira Imelda mengingatkan pentingnya mewaspadai perdagangan manusia dengan modus pernikahan agama. Di luar kasus Va, WCC juga mendampingi kasus di Cianjur terkait pernikahan pesanan. Modus ini juga dipakai untuk tujuan seksual. “Dinikahi beberapa bulan kemudian dijual. Nikahnya tidak tercatat,” terangnya.
Pelaku trafficking dengan modus pernikahan tidak segan memakai dontrin agama untuk menjalankan misinya. Misalnya pelaku berdalih bahwa pernikahan yang sah cukup disaksikan tokoh agama saja. Hal ini dipakai untuk mengelabuhi sekaligus meyakinkan keluarga korban.
Pentingnya Catatan KUA
Pengacara Va, Andreas Situmeang, mengatakan secara hukum pernikahan tidak sah jika hanya disaksikan tokoh agama. Kalaupun pernikahan dilakukan di depan pemuka agama, selanjutnya tetap harus dilanjutkan dengan pencatatan sipil agar pernikahan tersebut sah menurut hukum.
“Secara hukum pernikahan harus dicatatkan di KUA, sampai terbit buku nikah. Jadi sebelum ada bukti nikah saya bilang belum sah (secara hukum),” katanya.
Secara hukum, ada banyak kelemahan pernikahan yang dilakukan secara agama tanpa pencatatan di KUA. Pertama, pernikahan ini tidak punya kekuatan hukum. Kedua, posisi paling lemah adalah pihak istri atau perempuan.
Berikutnya soal waris yang memerlukan kelengkapan administrasi tertulis. Sementara Ira Imelda menambahkan, nikah tanpa catatan di KUA juga rentan mengorbankan hak-hak anak.
“Anak juga tidak dapat akta kelahiran. Jadi hak anak juga akhirnya jadi tidak dapat dipenuhi. Karena akta sebagai syarat untuk mengakses pendidikan dan hak ekonomi sosial lainnya. Jadi masih berderet masalahnya kalau nikah tanpa dicatatkan,” timpal Ira.
Sebagai gambaran, di Bandung, WCC mendampingi dua kasus terkait nikah agama, salah satunya berujung kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang korbannya adalah pihak istri yang sedang mengandung. Suaminya meninggalkan istri dan anaknya begitu saja.
“Anaknya ini terkena dampak. Dia secara hukum tidak memiliki ayah. Tidak diakui. Jadi ada banyak persoalannya,” tutur Ira. []