Diskusi “Café Philosophique: Hidup, Bertahan, Melangkah” di Apero Café – IFI Bandung, Jalan Purnawarman, Kamis malam (31/1/2020). Dok. Adhi
Bill Gates, salah satu orang terkaya di dunia menyatakan, kesenjangan ekonomi di Amerika Serikat sudah sangat parah. Dalam blognya yang kemudian dikutip banyak media, pemilik kekayaan bersih Rp. 1.429 Triliun itu mengaku ada ketidakadilan yang bikin orang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Pengakuan bos Microsoft tersebut diulas Furqan AMC, Sekjen Geostrategy Study Club (GSC) dan CEO Kabarkampus.com dalam diskusi “Café Philosophique: Hidup, Bertahan, Melangkah” di Apero Café – IFI Bandung, Jalan Purnawarman, Kamis malam (31/1/2020).
Furqan mengatakan, Bill Gates mengakui bahwa kekayaannya menjadi bukti dari ketidakadilan sistem ekonomi yang berjalan di dunia saat ini. “Jika pernyataan ini diucapkan aktivis, tentunya terdengar klise. Tapi pernyataan ini diucapkan orang di puncak piramida yang seharusnya menikmati hasil sistem ekonomi dunia,” kata Furqan.
Bisa jadi pernyataan Bill Gates cuma retorika dari orang yang kelebihan duit dan kemudian menjadi filantropi yang melakukan saweran kepada rakyat lalu menganggap hal itu sebagai sedekah yang luar biasa.
Atau, lanjut Furqan, mungkin juga pernyataan itu sebagai bentuk penyesalan atau semacam doa dan pengampunan. Namun Furqan juga curiga bahwa pernyataan Bill Gates sebagai tanda peringatan atau lonceng kematian bagi sistem kapitalis yang sekarang menguasai dunia.
“Pernyataan ini lonceng senjakala sistem ekonomi dunia atau bukti nyata sistem ekonomi dunia yang sudah berada pada usia senja. Sistem ini berada pada titik balik di mana dia harus merecovery, memperbaiki atau merombak yang tidak terkendali atau kemungkinan lainnya,” papar aktivis 98 tersebut.
Kenyataannya di pelbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, terjadi kesenjangan menganga antara yang kaya dan yang miskin. Sampai Bill Gates pun menyatakan bahwa ketimpangan yang terjadi di AS lebih besar dibandingkan 50 tahun lalu.
Furqan meramalkan kesenjangan yang semakin lebar itu akan menemui “ambang batas yang memiliki daya hancur”. Di Indonesia, misalnya, jumlah kekayaan empat orang terkaya sama dengan 100 kekayaan rakyat Indonesia, bahkan 1 persen orang terkaya Indonesia kekayaannya setara dengan 50 persen total kekayaan Indonesia.
Fenomena kesenjangan ekonomi telah meresahkan kalangan muda di semua negara industri atau kapitalis modern. Mereka resah karena ekonomi global sedang menuju kebangkrutan. Di ambang kebangkrutan ini biasanya terjadi dekonstruksi yang bersifat revolusioner, misalnya perang. Tetapi ada juga jalan yang bisa diraih oleh generasi muda, yakni mengambil alih atau menjadi kepeloporan menuju era baru.
Fenomena yang dilontarkan Bill Gates, menurut Furqan, sebelumnya juga telah menjadi keresahan Presiden AS Donald Trump yang melontarkan jargon “make American great again”. Jargon tersebut bisa ditafsirkan bahwa AS tak lagi sebagai negara besar dan merasa harus dibesarkan kembali. Untuk mencapai “great again”, kata Furqan, AS akan melakukan dengan cara apa pun, misalnya melakukan eksploitasi alam di luar negaranya seperti Timur Tengah, Amerika Latin, dan Asia Pasifik.
Namun masalahnya, generasi muda Indonesia sekarang sadar tidak dengan kondisi mengkhawatirkan tersebut? Furqan menjawab, generasi muda Indonesia tidak boleh ketinggalan dalam menghadapi krisis global yang akan terjadi. Indonesia pernah mengalami reformasi 1998, sebuah perubahan yang sangat cepat dan hasilnya pun dinilai tergesa-gesa. Jadinya, pasca reformasi tatatan di negeri ini ditunggangi oleh oligarki.
Ia berharap, perubahan yang akan terjadi ke depan tidak boleh lagi ditunggangi oleh oligarki. Terlebih situasi dunia saat ini bisa lebih ekstrem dari krisis ekonomi yang mengawali reformasi 1998.
“Yang ingin saya sampaikan bahwa ada situasi krisis yang sedang menunggu. Mudah-mudahan krisis itu akan berlalu tanpa kita tidak siap menghadapinya,” katanya.
Sarah Andrieu, antropolog yang juga menjadi narasumber lainnya dalam diskusi Café Philosophique tersebut, bilang bahwa dalam perjalanan hidupnya manusia menghadapi banyak kesulitan dan pilihan. Jarang manusia diahadapkan pada situasi tak bisa memilih atau cuma memiliki satu atau dua pilihan. “Misalnya kita ditodong pistol, itu situasi murni yang kita tidak punya banyak pilihan. Tapi situasi itu sangat jarang terjadi,” kata Sarah.
Perempuan asal Prancis yang lama meneliti wayang golek tersebut menegaskan, sama halnya dengan di era kapitalisme global ini di mana manusia hidup dalam kesenjangan ekonomi yang sangat lebar namun tetap saja punya banyak pilihan. “Di Indonesia ada kesenjangan antar daerah yang semakin jauh, walau dalam angka makro kondisi ekonominya jauh lebih baik,” katanya.
Masalah terjadi tidak hanya di bidang ekonomi, melainkan juga lingkungan yang semakin rusak dieksploitasi. “Namun kita masih punya pilihan,” katanya. “Jadi ruang untuk kebebasan dan pilihan sebenarnya masih luas tapi banyak orang yang tidak sadar, merasa terkekang dan tidak bebas. Padahal kalau dilihat secara nyata situasinya tak terlalu memaksa, pilihannya ada.”
Sebagai contoh, lanjut Sarah, jika bosan dengan kondisi lingkungan yang kotor banyak sampah, kita bisa melakukan sortir sampah di rumah sendiri. “Kita bebas melakukan sortir sendiri, tanpa ada yang menyuruh atau melarang.”
Sarah juga menyinggung kapitalisme global saat ini yang bentuknya sangat sinis dan liberal namun sangat terbuka untuk dilakukan perlawanan. Ia mengacu pada demonstrasi besar-besaran yang terjadi September 2019. Demonstrasi tersebut bahkan menelan korban jiwa. Namun kini momen tersebut telah berlalu dan mungkin sudah dianggap selesai. Sementara sistem kapitalismenya terus berjalan.
Menurutnya, suatu gerakan perlawanan sangat mungkin dimanfaatkan oleh kepentingan lain. Dalam situasi ini, manusia kembali dihadapkan pada pilihan.
“Jadi sebenarnya ini pilihan, kita bisa mengambil kesempatan untuk melangkah sendiri. Hidup ini memilih dan konsekuen dalam pilihan itu jangan membatasi diri dalam pikiran.”
Ari Mulyono, narasumber lainnya dari Spatial Data Analyst, lebih menyoroti masalah lingkungan. Menurutnya, persoalan lingkungan muncul adanya interaksi dengan manusia. Contoh konkret, berapa banyak gas CO2 yang diproduksi manusia dan merusak alam. Namun isu-isu lingkungan pun tak bebas dari pihak-pihak yang mau menunggangi atau memanfaatkan.
“Isu-isu lingkungan bisa dinaikkan jadi isu strarategis, jadi komoditas untuk menggalang masa, uang dan banyak hal. Jadi bahan “propaganda”,” kata Ari.
Ari sepakat menghadapi sistem kapitalisme global ini perlu dilakukan terobosan dengan cara mandiri dan konkret. Contohnya, jika kita selama ini minum air mineral botolan, maka mulai saat ini kita bisa minum dengan tumbler. Dengan begitu kita menolak sistem instan dan mengurangi produksi sampah plastik.
Dan masih banyak lagi cara atau pilihan kreatif yang bisa dilakukan untuk melawan sistem kapitalisme global. Cara tersebut kadang bisa ditempuh di luar paradigm umum yang mungkin agak nyeleneh atau tidak mainstream. []