“Salju berwarna putih jika, dan hanya jika, salju berwarna putih.”
Demikianlah silogisme tautologis yang dibuat oleh Alfred Tarski, seorang filsuf logika abad ke-20 dari Polandia, yang dianggap sebagai salah satu filsuf logika terbesar dan telah mengubah wajah logika pada abad ke-20. Pada kalimat di atas, Tarski hendak membuktikan bahwa kebenaran suatu kalimat tergantung pada nilai kebenaran dari kalimat-kalimat atomik (proposisi-proposisi) di mana subjek dari kalimat atomik itu harus merujuk (berkorespondensi) kepada benda X (fakta) di dalam dunia nyata.
“Salju berwarna putih jika, dan hanya jika, salju berwarna putih.” Dalam kalimat di atas, jika “salju” adalah nama dan predikat adalah “berwarna putih”, maka kebenaran dari nama itu hanya bermakna jika merujuk kepada benda “x”, dan predikat akan “satisfiability” oleh x itu. Atau, dalam bahasa formalnya: Sebuah kalimat atomik F (x1, …, xn) adalah benar (relatif terhadap penentuan nilai untuk variabel x1, …, xn) jika nilai-nilai yang sesuai dari variabel menghasilkan relasi yang diungkapkan oleh predikat F.
Alfred Tarski, seorang matematikawan dan filsuf logika dari Polandia, adalah salah satu tokoh yang menciptakan teori kebenaran pengganti prinsip korespondensi yang dirumuskan ribuan tahun sebelumnya oleh Aristoteles. Tarski menyodorkan Teori Kebenaran Semantik sebagai pengganti Teori Korespondensi klasik. Menurut Teori Kebenaran Semantik, suatu kalimat menjadi bermakna (benar atau salah) jika dan hanya jika setiap interpretasi atas proposisi-proposisi di dalam kalimat itu memiliki “satisfiability” (keterpenuhan) dan “validity” (keberlakuan). Sekarang mari kita uraikan satu-satu pengertian tentang interpretasi, satisfiability, dan validity dalam konteks Teori Kebenaran Semantik dari Alfred Tarski:
1. Interpretasi (disimbolkan dengan huruf “I”)
Suatu kalimat, misal “p or (not q)”, dapat diketahui kebenarannya jika diketahui nilai kebenaran dari simbol proposisi p dan q.
Interpretasi I adalah suatu penentuan nilai kebenaran (assignment), baik benar (True) maupun salah (False) untuk setiap kumpulan daripada simbol-simbol proposisional. Untuk setiap kalimat G, suatu interpretasi I dikatakan menjadi suatu interpretasi untuk G jika I meng-“asign” suatu nilai kebenaran, baik “true” atau “false” untuk setiap simbol proposisi G.
Contoh :
G: p or (not q) —————> bentuk kalimat disjungsi.
I-1 (Interprestasi 1) : p adalah false (bernilai salah), q adalah true (bernilai benar), maka kalimat G itu benar.
I-2 (Interpretasi 2): p adalah false (bernilai salah), q adalah false (bernilai salah), maka kalimat G itu salah.
Jadi, ada dua nilai interpretasi (I-1 dan I-2). Kita dapat mengatakan, berdasarkan aturan disjungsi, bahwa p adalah false dan q adalah true untuk I-1, dan p adalah false dan q adalah false untuk I-2.
2. Properti (kriteria) suatu kalimat menjadi benar atau salah ditentukan oleh “satisfiability” (keterpenuhan) dan “validity” (keberlakuan), yaitu:
a. Suatu kalimat G dikatakan valid (berlaku/sah) jika kalimat itu benar untuk SETIAP interpretasi I terhadap SEMUA proposisi dalam kalimat G. Kalimat-kalimat valid dalam logika proposisional disebut tautologi.
b. Suatu kalimat G dikatakan satisfiable (terpenuhi) jika kalimat itu benar untuk SATU interpretasi I dalam kalimat G.
c. Suatu kalimat G dikatakan kontradiksi/unsatisfiable/tak terpenuhi jika kalimat itu SALAH untuk SETIAP interpretasi I dalam kalimat G.
d. Suatu kalimat G merupakan implikasi dari kalimat H bila untuk sebarang interpretasi I dalam kalimat G dan H, yaitu jika G benar untuk I maka H benar untuk I.
e. Dua kalimat G dan H ekuivalen jika setiap interpretasi I untuk G dan H, di mana G mempunyai nilai kebenaran yang sama dengan nilai kebenaran H.
f. Seperangkat kalimat G1, G2, G3, … dikatakan konsisten jika terdapat suatu interpretasi untuk G1, G2, G3, … di mana setiap G bernilai benar.
Contoh :
a. Kalimat p adalah satisfiable (terpenuhi) karena kalimat itu hanya memiliki nilai untuk SATU interpretasi I yang memberikan nilai benar untuk p, tetapi kalimat itu tak valid.
b. Kalimat p or (not p) adalah satisfiable (terpenuhi) dan juga valid (berlaku/sah).
c. Kalimat p and (not p) adalah kontradiksi.
d. Kalimat p and q adalah implikasi kalimat p, karena untuk setiap interpretasi I di mana (p and q) benar, p juga benar.
e. Kalimat “p dan (not (not p)” adalah ekuivalen. Sementara kalimat “p dan q” tidak ekuivalen.
f. Kalimat-kalimat “p, p or q dan not q” adalah konsisten, karena setiap kalimat tersebut benar untuk interpretasi I di mana p benar dan q salah untuk interpretasi tersebut.
g. Kalimat-kalimat “p, not p dan not q” adalah inkonsisten.
Percaya atau tidak percaya, faktanya, tanpa Teori Kebenaran Semantik dari Tarski ini, maka tak ada bahasa pemrograman komputer seperti yang kita kenal sekarang. Bersama dengan Kurt Godel, Tarski dianggap sebagai tokoh yang telah mengubah wajah logika pada abad ke-20. Logika bukan lagi sekadar alat untuk menyimpulkan suatu proposisi sebagai benar atau salah dalam konteks filosofis, tetapi juga menjadi sebuah ilmu terapan khususnya dalam pemrograman komputer.
Dengan Teori Kebenaran Semantik dari Afred Tarski ini setidaknya kita sekarang sedikit-banyak mulai memahami, bahwa sebuah kalimat menjadi bermakna tidak semata karena kalimat itu berkoresponden dengan fakta atau koheren dengan kebenaran sebelumnya, tetapi juga karena memiliki “satisfiability” dan “validity” dalam konteks semantik.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>