JAKARTA, KabarKampus – Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) melakukan gugatan kepada Menteri Nadiem Makarim. Gugatan tersebut berupa permohonan Hak Uji Materi atas Permendikbud No.25 tahun 2020 tentang SSBOPT pada PTN di lingkungan Kemendikbud yang diterbitkan Nadiem Makarim, Mendikbut di tengah Pandemi Covid-19.
Mahasiswa FH Unnes yang terdiri dari Frans Josua Napitu, Ignatius
Rhadite Prastika Bhagaskara, Franscollyn Mandalika, Michael Hagana Bangun, Jonasmer Simatupang, dan Machmud Alwy Syihab. Permohonan Hak uji materi yang mereka minta adalah pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) huruf d.
Franscollyn Mandalika, selama Pandemi Covid-19 ini mahasiswa melakukan pembelajaran secara daring, sehinga mahasiswa tidak bisa menikmati fasilitas kampus. Namun kewajiban pungutan iuran pengembangan institusi atau uang pangkal tetap diberlakukan.
“Kebijakan pungutan Uang Pangkal seharusnya tidak layak untuk diterapkan, karena negara seakan lepas tangan dalam urusan Pendidikan,” kata Frans dalam siara persnya.
Terlebih, kata Frans, dalam Permendikbud 25/2020 tidak diatur mengenai batasan
persentase maksimal Perguruan Tinggi dapat memungut Uang Pangkal dari mahasiswa baru jalur seleksi mandiri. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan Perguruan Tinggi memungut Uang Pangkal secara sewenang-wenang, mengingat tidak ada rambu-rambu memgenai batas maksimal dapat dipungutnya Uang Pangkal.
Ia juga melihat, terkait hal tersebut, Perguruan Tinggi selalu berdalih kebijakan yang
dikeluarkan oleh para Rektor mendapat legitimasi Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020. Oleh karena itu, mereka meminta Permendikbud tersebut diuji kembali.
Sejumlah pasal yang mereka ajukan untuk diuji yakni, Para Pemohon menyatakan pasal 9 ayat (1) Permendikbud 25/2020 yang menyatakan bahwa “Mahasiswa wajib membayar UKT secara penuh pada setiap semester. Pasal ini dianggap bertentangan
dengan pasal 47 ayat (1) UU Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3 huruf e , pasal 7 ayat 2, pasal 63 huruf c UU Pendidikan Tinggi, pasal 26 ayat 2 dan Pasal 48 huruf d UU Penanggulangan Bencana.
Bagi Frans dan teman-teman, apabila Pasal 9 ayat 1 Permendikbud 25/2020 tetap diberlakukan, maka secara nyata-nyata menciptakan pendidikan yang tidak berkeadilan dan jauh dari kata menyejahterakan. Selain itu juga menegaskan bahwa Perguruan Tinggi memberikan layanan pendidikan dengan
mengejar laba, yang secara jelas dilarang dan bertentangan dengan Undang-Undang Dikti.
“Sehingga wajar apabila dalam kondisi tidak normal yang disebabkan karena bencana alam dan/atau non alam seperti saat ini, seluruh mahasiswa di PTN tidak perlu membayar kewajiban berupa UKT secara penuh pada tiap semesternya,” ungkap Frans.
Kedua, adalah pada pasal 10 ayat 1 huruf (d) Permendikbud 25 tahun 2020. Pasal ayat ini berbunyi, PTN dapat memungut iuran pengembangan institusi sebagai pungutan dan/atau pungutan lain selain UKT dari Mahasiswa program diploma dan program sarjana bagi mahasiswa yang masuk melalui seleksi
mandiri”.
Menurut Frans, pasal tersebut, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
yakni pasal 3 huruf e dan I UU Dikti, pasal 6 huruf b UU Dikti. Kemudian dipertegas dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 73 ayat 5 UU Dikti, Pasal 73 ayat (5) UU Dikti, pasal 7 ayat 1 UU Dikti, pasal 89 ayat 1 UU Dikti, Pasal 88 ayat 5, pasal
47 ayat (1) UU Sisdiknas, Pasal 63 huruf c UU Dikti, Pasal 8 ayat (3) UU PNBP serta pasal 26 ayat 2 UU Penanggulangan Bencana, Pasal 48 huruf d.
Pada kesimpulannnya, kata Frans, mereka menganggap pemberlakuan Pasal 10 ayat (1) huruf (d) telah mengakibatkan secara langsung kerugian terhadap Pemohon. Hal tersebut karena telah menciptakan pendidikan yang tidak berkeadilan, diskriminatif, tidak terjangkau, dan tidak berdasar pada prinsip nirlaba serta bertujuan komersial.
Sebelum melakukan gugatan ini, para mahasiswa tidak hanya di Unnes telah berulangkali melakukan serangkaian protes lewat aksi massa. Namun kali ini mereka melangkah lebih jauh yakni menggugat Nadiem Makarim lewat jalur hukum. Pengajuan uji materi ini telah mereka sampaikan ke Mahkamah Agung Jakarta, pada 21 Juli 2020.[]