More

    Pemerintah Dicurigai Otak Dibalik Peretasan Sejumlah Media

    Abdul Manan, Ketua AJI Indonesia dalam konferensi pers terkait peretasan media.

    JAKARTA, KabarKampus – Pemerintah Indonesia dicurigai sebagai aktor dibalik peretasan sejumah media. Dugaan tersebut menguat karena, media yang diretas adalah yang banyak mengkritisi kebijakan pemerintah soal Covid-19, termasuk obat Covid buatan Unair, BIN, dan TNI.

    Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) mencatat, setidaknya ada empat media telah diretas. Dua diantaranya adalah situs Tempo dan Tirto yang barlangsung baru-baru ini.

    Wahyu Dhyatmika, Perwakilan AMSI mengatakan, peretasan Tempo, terjadi Jumat, (21/08/2020) tengah malam. Peretas berusaha menghapus seluruh database pemberitaan. 

    - Advertisement -

    “Kalo ditilik apakah ada berita khusus yang diincar, ini agak sulit dikaitkan langsung ke topik tertentu, karena yang dirusak adalah seluruh database pemberitaan. Kalo itu berhasil, situs Tempo akan tutup bebeberpa hari. Tapi untunglah tim IT kami  menghasil mendeteksi si penyusup dengan menutup pintu yang digunakannya untuk mengakses data kami,” terangnya dalam konferensi pers secara daring menyikapi sejumlah peretasan yang terjadi di Indonesia, Senin, (24/08/2020)

    Kemudian media selanjutnya, menurut pria yang bisa disapa Komang ini, adalah Tirto. Peretas masuk ke server database berita Tirto, kemudian mengubah beberapa berita yang dianggap si penyerang bermasalah. 

    “Tapi ini juga masih kami analisis, apakah ada kaitannya dengan topik tertentu, karena topiknya cukup luas. Namun diantaranya adalah beberapa berita yang terkait dengan keterlibatan BIN dan TNI AD terkait pembuatan vaksin covid di Unair,” terangnya.

     AMSI mencatat, ada delapan berita di situs Tirto yang diubah. Namun saat ini, mereka secara internal masih menganalisis berita mana yang sebenarnya diincar.

    “Saat ini semua berita itu sudah diperbaiki dan semua berita itu sudah bisa diakses,” terang Komang.

    Serangan Terstruktur

    Dalam konferensi pers tersebut Abdul Manan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menegaskan, apa yang dialami Tempo dan Tirto bukanlah perbuatan iseng atau tidak sengaja. Karena sasaran mereka bukan media entertainment atau media masak-masak, melainkan media yang cukup kritis, khususnya pemberitaan soal covid-19.

    Sehingga peretasan ini menurutnya, menimbulkan kesan yang cukup kuat merupakan serangan yang terstruktur dan terencana serta serius menyerang media. Tujuannya jelas, yakni untuk meredam sikap kritis media terhadap pemerintah. 

    “Kita tahu yang jadi sasaran adalah media-media yang pemberitaanya membuat pemerintah tidak senang, mempertanyakan soal obat baru yang dibikin Unair, BIN, dan TNI AD serta berita lain yang mengesankan pemerintah tidak siap,” terangnya.

    Dengan demikian, lanjut Manan, mereka patut menduga, serangan digital ini memang dimaksudnya memberikan warning kepada media untuk berhenti  mempersoalkan hal-hal yang dilakukkan pemerintah di masa pandemi. Seperti juga peretasan media di Papua, diretas karena diangap mengganggu pemerintah.

    “Ini yang membuat saya punya kecurigaan ada campur tangan pemerintah. Pemerintah punya andil dalam melakukan peretasan. Tapi Kalo bukan, pemerintah bisa membuktikannya dengan serius mengusut kasus ini,” terangnya.

    Kecam Peretasan

    Komang dalam kesempatan tersebut mengutuk peretasan terhadap media. Baginya kebebasan pers bukan hanya orang boleh bersura, namun juga punya akses terhadap platform informasi.

    “Percuma saja pers boleh menulis dan mengkitisi apa saja, tapi websitenya tidak dapat diakses,” terang Pemimpin Redaksi Majalah Tempo ini. 

    Menurutnya, syarat kebebasan pers tidak dapat tepenuhi, kalau akses orang terhadap informasi terganggu. Apalagi untuk media cyber, yang semua produk dan konten media adanya di sana. Bila diganggu, bukan hanya menjadi serangan terhadap kebebasan pers, namun juga hak intelektual milik perusahaan media.

    Bila peretasan ini dibiarkan, kata Komang, maka akan ada iklim ketakutan jurnalis untuk menulis secara kritis dan menulis secara tebuka. Karena, yang selama ini terjadi, jurnalis yang menulis tulisan tidak sesuai dengan keinginan orang yang ditulis, kemudian mengalami doxing, aktivitasnya dibuka di media sosial.

    “Ini menimbulkan ketakutan dan dikhawatirkan mendorong swa sensor di redaksi. Lama-lama media akan membatasi diri, tidak berani bersikap kritis. Ini yang harus kami suarakan,” tegas Komang.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here