More

    Dosen UGM Sarankan Milienial Nonton Film G30S/PKI

    YOGYAKARTA, KabarKampus – Dr. Sri Margana, pakar sejarah UGM menilai tidak ada masalah pemutaran kembali film G30S/PKI. Baginya masyarakat saat ini sudah cerdas, sehingga orang bisa membuat penilaian mana yang benar dan tidak di film itu.

    Meski banyak yang mengkritik film tersebut mengandung sejumlah kebohongan dan propaganda, ia justru menyarankan masyarakat menontonnya. Terutama kalangan milenial yang sama sekali melihat film G30S/PKI.

    Dengan menonton film tersebut menurut Sri, orang dapat belajar mengapa terdapat pro kontra terhadapnya. Fakta-fakta baru terkait peristiwa G30S/PK sudah banyak beredar.

    - Advertisement -

     “Saya sarankan yang belum pernah nonton supaya menonton sebagai pengetahuan, menambah referensi cara berpikir sebelum bersikap,”papar Sri di laman UGM, Rabu, (30/09/2020).

    Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga tidak perlu mengeluarkan larangan bagi masyarakat untuk menonton film tersebut. Namun juga diharapkan pemerintah tidak menjadikan film itu sebagai tontonan wajib masyarakat.

    “Kalau sampai diwajibkan maupun dilarang nonton itu tidak benar,”katanya.

    Dosen Departemen Sejarah FIB UGM ini menyampaikan bahwa penayangan film ini dihentikan sejak reformasi 1998. Telah ada kajian-kajian yang mendasari penghentian terhadap besutan sutradara Arifin C. Noer, salah satunya film tersebut dinilai cacat fakta.

    Misalnya, soal kisah penyiksaan di luar batas kemanusiaan kepada para jenderal di Lubang Buaya. Hasil visum yang dilakukan para dokter tidak terbukti ada penyiksaan seperti pencukilan mata, pemotongan alat kelamin dan lainnya.

    Ia menjelaskan, seperti diakui sutradaranya, fakta film ini tidak seperti kenyataannya. Misalnya soal penyiksaan para jenderal sebelum dimasukan di Lubang Buaya itu terbukti dari arsip-arisp visum tidak ada, hanya dramatisasi.

    Ia pun menyarankan, unsur kekerasan dalam film G30S/PKI, Margana menekankan perlunya upaya sensor, sebab berpeluang dilihat oleh anak-anak. “Lagi pula faktanya tidak ada penyiksaan,”terangnya.[]

    Menurutnya, menjadikan peristiwa yang terjadi pada tahun 1965 sebagai memori kolektif bangsa merupakan hal yang baik agar persitiwa serupa tidak terulang kembali. Namun, dia meminta masyarakat untuk tidak mewariskan dendam masa lalu pada generasi berikutnya. Sebab, dalam persitiwa yang terjadi di tahun 1965 itu merupakan konflik antar kelompok politik.

    “Yang mengerikan itu hendak diwariskan pada semuanya yang tidak berkaitan dengan masalah itu. Jadi, jangan wariskan dendam,”ucapnya.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here