Sudah satu tahun Joko Widodo- Ma’ruf Amin memimpin Indonesia. Namun, demokrasi di Indonesia bukan makin membaik, Indonesia justru memasuki resesi demokrasi.
Ancaman resesi demokrasi merupakan catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) atas satu tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Bagi KontraS sudah sudah berlangsung sejak lama dan akan membahayakan kondisi demokrasi di Indonesia dan berpotensi menyuburkan pelanggaran HAM.
Narasi KontraS tersebut berdasarkan pemantauan selama periode pertama pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Sejumlah aspek yang mereka pantau yakni, penyusutan ruang sipil, budaya kekerasan, pengabaian agenda penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat, pelibatan aparat keamanan dan pertahanan pada urusan-urusan sipil, dan minimnya partisipasi publik dalam implementasi proses demokrasi yang substansial, yakni proses legislasi.
Penyusutan Ruang Sipil
Dalam aspek penyusutan ruang sipil, KontraS menemukan dalam satu tahun terakhir terdapat 158 peristiwa pelanggaran, pembatasan, ataupun serangan terhadap kebabasan sipil. yang terdiri atas hak asosiasi (4 peristiwa), hak berkumpul (93 peristiwa), dan hak berekspresi (61 peristiwa), dengan Polisi sebagai aktor utama penyerangan terhadap kebebasan sipil.
Pandemi COVID-19 juga dijadikan alasan untuk memberangus ruang sipil, diantaranya melalui pembubaran aksi, dalam banyak peristiwa secara represif. Situasi ini menunjukkan Negara telah gagal dalam menyediakan akses yang efektif bagi masyarakat untuk mengkomunikasikan aspirasinya melalui jalur-jalur lain agar dapat mempengaruhi kebijakan negara, selain melakukan aksi massa.
Terlebih, terdapat perkembangan metode serangan terhadap kebebasan berekspresi. Mulai dari pembungkaman siber dalam bentuk peretasan, intimidasi, doxing, bahkan penyiksaan di ruang siber.
Perlindungan HAM Tidak Maksimal
Penanganan pandemi Covid-19 pun tidak lepas dari pemenuhan dan perlindungan HAM yang tidak maksimal. Bahkan dalam beberapa peristiwa dijadikan dalih untuk melanggar HAM, seperti kriminalisasi terhadap pengkritik sampai penghukuman tidak manusiawi terhadap pelanggar protokol kesehatan.
Penanganan terhadap pandemi yang terlalu bertumpu kepada lembaga-lembaga keamanan, pertahanan, dan intelejen yang tidak memiliki kompetensi utama di bidang ini juga berdampak buruh tidak hanya pada penanganan pandemi, namun kondisi demokrasi Indonesia kedepannya.
Dari segi perlindungan terhadap pembela HAM, dalam satu tahun terakhir KontraS menemukan pola yang terus berulang, yakni berlarutnya proses hukum terhadap pelaku penyerangan terhadap pembela HAM. Hal ini dapat dilihat dalam penanganan kasus Novel Baswedan, Golfrid Siregar, dan Ravio Patra.
Penuntasan Pelanggaran HAM
Dalam aspek penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, tahun ini nyaris tidak ada kemajuan, dan dalam beberapa hal justru terjadi kemunduran. Hal ini terlihat dari dikembalikannya berkas penyelidikan peristiwa Paniai oleh Jaksa Agung kepada Komnas HAM, dinyatakannya deklarasi damai peristiwa Talangsari sebagai maladministrasi oleh Ombudsman. Kemudian pernyataan Jaksa Agung bahwa tragedi Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan peristiwa pelanggaran HAM berat, serta diangkatnya aktor-aktor pelanggaran HAM berat sebagai pejabat pemerintahan.
Keseluruhan peristiwa ini menegaskan bahwa isu pelanggaran HAM berat bagi Joko Widodo hanya merupakan komoditas politik tanpa ada niatan untuk benar-benar menyelesaikannya.
Budaya Kekerasan
Dalam aspek budaya kekerasan, KontraS menemukan bahwa tingginya angka kekerasan yang muncul setiap tahunnya dari lembaga pertahanan dan keamanan. Reformasi kelembagaan untuk mengurangi peristiwa kekerasan, justru disambut dengan memperluas tugas, fungsi, dan pengaruh Polri dan TNI.
Polri menurut KontraS memperluas otoritas dan pengaruhnya melalui penempatan anggota Polri pada jabatan di luar struktur Polri yang tidak berkaitan dengan urusan keamanan. Diantaranya adalah surat telegram Kapolri tentang penegakan hukum terhadap penghina presiden/pejabat negara lainnya. Kemudian surat telegram yang melarang aksi unjuk rasa dan memerintahkan jajaran Polri untuk melakukan kontra narasi terhadap kritik masyarakat terkait RUU Cipta Kerja.
Selain itu itu juga pembentukan Pam Swakarsa melalui Peraturan Polri nomor 4 tahun 2020 tentang Pam Swakarsa yang memiliki sejumlah celah yang dapat berujung pada kekerasan, konflik horizontal, hingga digunakan untuk kepentingan politik praktis.
Sementara itu, TNI memperluas otoritas dan pengaruhnya melalui penerapan UU PSDN seperti perekrutan Komcad dan wacana pendidikan “wajib militer” yang kontraproduktif dengan kondisi kampus yang seharusnya menjadi tempat berkembangnya nilai-nilai demokrasi.
Minimnya Pastisipasi Publik Dalam Proses Legislasi
Terakhir, tidak diinternalisasinya nilai-nilai demokrasi dalam tata kelola pemerintahan terlihat jelas dalam proses legislasi yang alih-alih menjadi wadah penampung aspirasi publik, justru dijadikan metode untuk memuluskan ambisi investasi Pemerintah, yang terlihat jelas dalam pengesahan UU Minerba dan UU Cipta Kerja dalam suasana pandemi dan dengan pertisipasi publik yang sangat minim dan tidak substansial. Fenomena ini menegaskan pemaknaan negara atas demokrasi yang tidak lebih jauh dari momentum pencoblosan setiap lima tahun tanpa ada upaya untuk melibatkan publik secara lebih substansial dalam tata kelola pemerintahan untuk menjamin akuntabilitas serta terjaminnya kepentingan umum.[]