More

    Begpacker, Kerikil Dunia Pariwisata Asia Tenggara

    Oleh : Paramita Asri Widyastuti

    Ilustrasi / Sumber : Twitter

    Beberapa waktu lalu, sempat viral unggahan video TikTok milik @joellegabriella_ mengenai wisatawan Rusia yang ‘terdampar’ di Bali selama delapan bulan dan tidak dapat kembali pulang ke negara asalnya. Pembuat video mengatakan sang turis terjebak di Bali karena pandemi Covid-19 dan turis Rusia tersebut juga berencana untuk bepergian ke beberapa negara lainnya.

    Tak hanya di TikTok, video ini juga ramai diperbincangkan di platform media sosial lainnya seperti di twitter yang tentu saja mengundang berbagai komentar mulai pro hingga kontra. Kebanyakan menyayangkan sikap iba warga lokal dengan wisatawan- wisatawan asing yang menjual rasa kasihan untuk dapat melanjutkan hidup di negara orang dan membiayai perjalanan wisata mereka.

    - Advertisement -

    Kisah- kisah mengenai turis yang ‘mengemis’ bukan kali ini saja viral, dan bukan kisah baru dalam dunia pariwisata. Fenomena ini juga tak hanya terjadi di Indonesia, namun juga beberapa negara Asia lain seperti Thailand, Vietnam, bahkan Korea Selatan dan Jepang. Lalu, sebenarnya perlukah kita sebagai warga lokal mengasihani oknum- oknum tersebut? Apa saja kah kebijakan pemerintah, khususnya Indonesia, dalam menangani oknum turis yang hanya bermodal belas kasihan warga lokal?

    Begpacker menjadi sebutan yang disematkan kepada oknum- oknum turis tersebut, plesetan dari kata backpacker yang digabung dengan beg (meminta- minta). Keinginan untuk berkeliling tanpa mengeluarkan banyak biaya menjadi alasan umum kebanyakan begpacker. Maka dari itulah negara-negara Asia sering menjadi tujuan utama, tak terkecuali Asia Tenggara.

    Berbagai upaya mendapatkan biaya mulai mengamen, berjualan kartu pos, lukisan, hingga hanya dengan mengemis pun dilakukan oleh oknum- oknum ini. Tak lupa dibubuhi embel- embel tulisan seperti “Bantu saya mengelilingi negara kalian yang indah”, “Travel around the world without money, please support my trip”, dan beberapa contoh lain yang umumnya mengasihani diri sendiri dan ungkapan bahwa mereka kagum dengan keindahan negara yang dikunjungi.

    Melancong ke negara lain, khususnya negara- negara barat, merupakan aktivitas mewah yang belum tentu dapat dilakukan oleh mayoritas masyarakat Asia Tenggara. Persyaratan yang dibutuhkan untuk mendapatkan visa pun cukup banyak seperti melampirkan bukti rekening keuangan, surat pernyataan dari instansi, tiket pesawat serta akomodasi, belum lagi lampiran itinerary.

    Berbanding terbalik dengan pelancong dari negara barat yang dapat memanfaatkan kebijakan bebas visa yang dikantongi oleh paspornya. Indonesia misalnya, telah menyepakati kesepakatan bebas visa wisata kepada 169 negara sesuai dengan Perpres No 21 tahun 2016. Sebaliknya, paspor Indonesia hanya mengantongi akses ke 71 negara, baik Visa on Arrival maupun visa elektronik yang dianggap tidak sesulit visa biasa.

    Lalu, bagaimana pemerintah menangani turis- turis pengemis ini? Saat ini beberapa otoritas imigrasi Asia Tenggara telah memperketat peraturan masuk bagi warga negara asing. Thailand misalnya, dilansir dari situs resmi Kedutaan Besar Thailand untuk Finlandia, peraturan terbaru yang terbit pada Oktober 2020 mengharuskan warga negara asing melampirkan dokumen bukti bahwa ia tersebut memiliki dana yang cukup selama perjalanannya di Thailand yakni 30 euro per-orang per-hari dan 60 euro per-keluarga per-hari untuk dapat mengantongi visa Thailand. Pengetatan ini dilakukan untuk mencegah wisatawan asing berdalih tidak memiliki uang dan meminta- minta di Thailand. Selain kebijakan baru tersebut, Thailand saat ini dengan tegas telah melakukan deportasi dan blacklist bagi warga negara asing yang kedapatan mengemis untuk dapat menjelajahi negaranya.

    Sehingga, menjawab perlukah warga lokal mengasihani para begpacker? Tentu saja kembali pada moral masing- masing individu. Namun, yang perlu disadari adalah wisata bukan kebutuhan pokok yang dapat dijustifikasi dengan mengandalkan belas kasihan, utamanya ketika negara yang dikunjungi memiliki penghasilan perkapita jauh lebih rendah dari negara asal wisatawan. Glorifikasi serta privilese milik orang- orang kulit putih, atau bule, sayangnya masih menjadi faktor mengapa mereka mudah melakukan hal yang jauh dari kata ‘respek’ tapi masih mendapatkan yang diinginkan. Ketika keadaan dibalik, tentu saja negara- negara barat akan langsung melakukan blacklist pada dokumen perjalanan wisatawan.

    Adapun yang dapat dilakukan sebagai warga lokal ketika melihat wisatawan asing terluntang lantung, mengemis, ataupun mengamen adalah mencoba menghubungi imigrasi terdekat, agar dapat segera dilaporkan kepada kedutaan terkait. Hal ini agar wisatawan tersebut segera mendapatkan penanganan yang seharusnya dilakukan, dan tidak terlalu lama menikmati kebaikan dari warga lokal yang dapat mengundang para begpacker lainnya. 

    *Penulis adalah mahasiswa HI UPN “Veteran Jawa Timur”

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here