More

    Memandang Wajah Mahasiswa

    Oleh : Jauharuddin Ahmad

    Pernyataan tentang mahasiswa sebagai kelompok elite menengah yang menjadi jembatan antara rakyat dan penguasa merupakan kalimat klise untuk diperdengarbunyikan. Bukan saja tidak menarik, namun sudah menjadi pengertian yang usang dan harus diperbaharui.

    Tak ada yang akan menggubris dengan keseriusan pernyataan itu sekarang. Pasalnya kalimat semacam itu hanya menjadi slogan sporadis apologetik yang berusaha mempertahankan ajarannya.

    - Advertisement -

    Orang membaca dan paham maksud di dalamnya akan terbakar semangat juang sebagai seorang mahasiswa. Namun untuk menerapkan dalam masyarakat, sesuai dengan kehendak cita-cita ideal tersebut, barang tentu akan kebingungan bentuk sistem, metode dan cara-cara yang musti ditempuh.

    Bahasa semacam ini yang pernah dihindari Nurcholis Madjid dalam merumuskan teks NDP (Nilai-nilai Dasar Perjuangan). Alih-alih menciptakan regenerasi pemuda sebagai tunas yang menggantikan generasi tua, yang terjadi justru polemik di dalam tubuh mahasiswa sebab terjadi chaos akan perbedaan prinsip. Misal saja mahasiswa baru yang belum mengerti apa-apa, diajak ke dalam forum diskusi dengan tema kamahasiswaan. Dengan semboyan-sermboyan klise yang dilemparkan pemateri kepada peserta, seperti mahasiswa itu sebagai agent of change, agent of social control, iron stock dan berbagai macam lainya menumbuhkan semangat juang yang menggebu-gebu di dalam dada.

    Akan tetapi seiring berjalannya waktu semboyan ini silang sengketa dengan realita yang terjadi. Pernyataan reaksioner semacam tadi adalah hantu yang tumbuh dari gerakan-gerakan mahasiswa di era lampau, seperti telah mengakar kuat menjadi mitos heroisme gerakan mahasiswa 66, 78, 98 dan lain sebagainya. Dampaknya terjadi berangsung-angsur, tidak secara tiba-tiba seperti revolusi partai bolshevic, namun efek dari dampak yang ditimbulkan langsung dapat dirasakan.

    Semboyan dan pengertian yang dijejalkan tidak sinkron dengan realita yang dihadapi. Pikiran dan hati meyakini keras ideal-ideal yang telah dicerna, sedangkan indra menangkap justru sebaliknya. Keyakinan tersebut akan segera pupus berganti dengan arus pragmatis yang lebih nyata.

    Meskipun bukan berarti seorang mahasiswa tersebut tidak kuat keyakinan hati dan pikirannya, tapi menjadi hal yang lumrah apabila seseorang yang tenggelam dalam sungai bengawan yang deras arusnya akan ikut terseret ke muara nyata pragmatis dan hedonis. Yang terjadi berikutnya adalah sikap apatis, masa bodoh dan frustasi sebab merasakan sulitnya menghadapi kondisi nyata lapangan.

    Idealisme itu tempatnya masih dikepala, butuh tenaga lebih untuk memformulasikan menjadi gerakan nyata. Paling mentok mereka yang merasa masih memiliki secercah idealisme akan turun kejalan sambil memprotes kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro rakyat kecil. Hal semacam ini merupakan aksi mainstream yang masih dipertahankan meskipun relevansi setiap zamannya terus berkurang.

    Bagaimana tidak, dengan melakukan aksi protes melulu mengenai kebijakan pemerintah, secara tidak langsung telah menyerahkan arah perubahan pada pemerintah. Memang benar jika pemerintah merupakan susunan masyarakat yang terkuat dan paling berpengaruh, namun bukan berarti untuk memulai perubahan menuju kemajuan dan kebaikan musti menunggu kebijakan pemerintah yang pro rakyat kecil atau jika tidak mereka kritisi dan protes besar-besaran.

    Harus ada sebuah bentuk pembaharuan untuk memulai perubahan. Kelas tidak boleh terus menerus membelenggu mahasiswa dengan sistem kredit semester maupun indeks prestasi kumulatif yang selama ini diagung-agungkan menjadi tolak ukur kecerdasan. Pembelengguan semacam ini menyebabkan tumpul inovasi dan kreativitas mahasiswa untuk memulai gerak perubahan sebab terasing dengan kondisi objektif masyarakat, sehingga selalu mengacu pada gerakan sporadis kakek dan buyutnya yang telah lampau.

    Teori pelantunan yang dikemukakan Tan Malaka dalam Madilog lebih setengah abad lalu seharusnya sudah terlaksana hari ini jika ruang pembelajaran tidak seperti menara mercusuar kaum inteletual dengan lingkungan sekitar. Tetapi pengkebirian sistem pendidikan selama ini telah berhasil membelenggu dunia pendidikan dari kondisi sosial.

    Disisi lain, perbincangan tentang gerakan mahasiswa masih menjadi topik yang seru untuk dijadikan bahan diskusi. Berbagai vonis yang mengatakan bahwa gerakan mahasiswa telah mati merupakan pernyataan reaksioner yang membandingkan gerakan-gerakan di masa lampau dengan era saat ini. Ya benar telah mati, tapi bukan dalam arti yang sebenar-benarnya mati. Mati dalam arti tak semassif di era dulu dan belum mati sebab masih ada beberapa kelompok mahasiswa yang melakukan aksi dengan mengacu pada sejarah gerakan para pendahulunya. 

    Jika melihat situasi, kondisi, keadaan, waktu dan tempat, tentu perubahan zaman telah mengantarkan mahasiswa dalam permasalahan yang lebih kompleks dari era-era sebelumnya. Buku-buku sejarah gerakan mahasiswa cukup dipahami sebagai gerak sejarah, sedangkan untuk aksi real mesti diperbaharui.

    Misal saja di era 60-66-an untuk bertukar dan mendapatkan informasi secara cepat masih sangat sukar dilakukan, media cetak laku keras sebab peralatan digital dan sarana pendukung lainya seperti handphone dan medsos belum massif digunakan. Kalaupun ada masih sebatas pada kaum yang berpunya atau milik instansi pemerintah saja. Maka ketika sebuah informasi dibagikan melalui surat kabar, ya itu yang mereka ketahui dan mereka yakini, sehingga arah kritisi menjadi fokus pada satu persoalan.

    Di era yang serba digital seperti hari ini, informasi dan komunikasi dengan mudah diterima dan dibagikan. Sehingga ketika sebuah informasi hadir dengan mengusung huruf A, informasi tentang persoalan yang sama masuk mencampurinya dengan huruf B,C, dan D. Belum lagi dengan kemajuan alat industri, tranportasi dan persoalan peraturan lainnya yang kian kompleks.

    Dibenturkan kembali dengan jumlah populasi manusia yang kian hari angka harapan hidup bertambah banyak, urusan penghidupan dan kesejahteraan bukan lagi sesederhana orang berangkat kerja atau ke sawah untuk memenuhi kehidupan diri dan keluarga. Bahkan berita harian di media tak luput dari sengketa lahan, tempat hidup, pekerjaan, kesehatan, pendidikan, ketahanan dan kesediaan pangan menjadi permasalahan yang semakin runcing tiap zaman.

    Dengan persoalan kompleks tersebut mau ditaruh mana idealisme yang selama ini diseru-serukan dan dijunjung tinggi? Wajah mahasiswa hari ini bukan lagi tentang perkara konsep secara meluas dan general, pembaharuan pemikiran musti langsung diiringi dengan bukti pasti di ranah eksperimen sehingga menghasilkan kritik otokritik. Semua hal terkait pandangan dunia dan arah masyarakat telah tuntas di abad ke 21. Abad 22 waktunya menunjukan seberapa mampu adaptasi dapat dilakukan, sejauhmana kemampuan berfikir dan bertindak dapat dipadukan, dan bagaimana metode-metode konkrit yang musti ditempuh.

    Seorang Renal Kasali dalam “the great shifting” mengkritik orang-orang yang tak mampu menghadapi perubahan dan tergeser ke tepi peradaban. Sehingga aksi-aksi protes yang dilakukan adalah bentuk nyata dari rasa takut akan perubahan yang belum siap dihadapi.

    Metode-metode lama sudah tidak efektif sebab perbedaan kesadaran subjektifitas mahasiswa dengan kondisi objektifitas lapangan kian menjadi jurang yang tak mungkin lagi dikikis. Hal ini ditandai oleh mahasiswa yang notabene seorang aktivis, gerakannya telah bergeser dengan meneriakkan pemahaman yang menggunggah kesadaran subjektif dan informatif daripada gerakan nyata sosial masyarakat atau ruang diskusi yang membahas penyelesaian masalah. Karena disadari maupun tidak, kesadaran subjektif itulah yang kian pupus sehingga upaya menggugah kesadaran subjektif dan informatif adalah bentuk kemunduran. 

    Dengan begitu wajah mahasiswa yang relevan di masa depan ialah, membangun kembali “the power of reason”, penelitian merupakan tahap awal untuk mengenali kondisi dan medan juang. Bukan saja penelitian yang bertujuan menyingkap suatu ilmu, akan tetapi penelitian yang membuka mata mahasiswa dengan kondisi objektif lapangan, sehingga memangkas menara mercusuar kaum intelektual dengan lingkungan sosial.

    Harus ada tindak lanjut berupa pengembangan sebagai aksi konkrit perjuangan demi kemajuan dan perubahan. Outputnya, pembelajaran diruang kelas adalah ilmu yang dapat diaplikasikan langsung di masyarakat, sehingga nilai kebermanfaatan dapat dirasakan dan bukan halusinasi keilmuan belaka. Ruang kelas jangan digunakan sebagai tembok antara pendidikan dengan kondisi sosial.

    Sekarang adalah waktunya melakukan pembaharuan teori dan realita menjadi satu kesatuan yang dijalankan bersamaan. Baik dari segi soshum maupun sainstek. Dengan begitu akan lahir wajah baru mahasiswa dengan segenggam perubahan.

    *Penulis adalah Jauharuddin Ahmad Akfiyan, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan di Universitas Muhammadiyah Ponorogo yang suka ngopi dan puisi.

    - Advertisement -

    1 COMMENT

    1. Luar biasa Bang Udin
      Era teknologi juga mendorong budaya ikut-ikutan karena ajakan untuk turun ke jalan bisa tersebar dengan mudah dan tujuan mereka untuk eksis.

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here