More

    Ketua DPP PSI Furqan AMC Bekali Pemahaman Pancasila Pada Tim Kerja Nyoman Nuarta Sang Perancang Istana Negara IKN

    Nyoman Nuarta (kiri), perancang istana negara IKN (Ibu Kota Nusantara) menyimak penjelasan dari Ketua DPP PSI Furqan AMC makna Pancasila dari Lambang Negara di NuArt Sculpture Park, Jl. Setra Duta Raya, Bandung. (31/5/2023).

    Kelima sila dasar negara kita tersebut disusun dengan harmoni pada perisai yang tergantung pada dada Garuda.

    Terdapat dua perisai, yaitu perisai luar yang berwarna merah putih merah putih, di mana tersusun sila dua, tiga, empat dan lima, diikat oleh perisai dalam yang berwarna hitam di mana terdapat sila pertama.

    Perisai inilah yang akan menjadi pandu bagi kita bagaimana membaca dan memahami Pancasila.

    - Advertisement -

    Perisai luar yang berwarna merah putih merah putih menandakan urutan dan arah membaca sila-sila Pancasila. Sila kedua dengan latar warna merah, sila ketiga dengan latar warna putih, sila keempat dengan latar warna merah, dan sila kelima dengan latar warna putih menunjukkan kepada kita bahwa Pancasila harus dibaca melingkar ke kiri berlawanan arah jarum jam.

    Pancasila tidak tersusun hirarkis dan linier tapi dinamis melingkar ke kiri di mana di tengahnya terdapat sila pertama dengan latar hitam pada perisai dalam. Di balik gerak melingkar tersebut terkandung makna yang egaliter, dinamis dan dialektik, jauh dari struktur hirarkis, linier dan positivistik. Karena itu tak ada tempat bagi otoritarianime dalam masyarakat nusantara.

    Adapun putaran melingkar ke kiri melawan arah jarum jam melambangkan semangat perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme, sekaligus menyadarkan kita akan asal-usul.

    Gerak melingkar ini dalam istilah nusantara dikenal sebagai “Gilir balik”, sebuah konsep yang diadopsi dari suku Dayak Melayu. Dalam astronomi kita ketahui semua bintang, planet dan satelit berotasi melingkar pada orbitnya. Dalam peradaban Islam dikenal dengan istilah “Thawaf”.

    Dalam susunan lambang negara garuda pancasila, para pendiri Bangsa mengajarkan kepada kita bahwa dalam kehidupan berbangsa bernegara dalam taman raya internasional, serta dalam kehidupan berdemokrasi mewujudkan keadilan ekonomi, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, semuanya tidak terlepas dari spiritualitas, simpul yang di tengah perisai yang mengikat semua sila, yaitu Ketuhanan yang maha esa. Semua sila tidak boleh terpisah dari sila Ketuhanan. Sila ketuhanan mengikat semua sila. Sila Ketuhanan adalah nafas dari semua sila, jiwa dari semua sila.

    Begitu indahnya, tak ada dikotomi antara kebangsaan dan spiritualitas, semua menyatu dalam harmoni. Kehidupan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi menyatu harmoni dengan spiritualitas ketuhanan yang maha esa.

    Ketuhanan yang maha esa itupun tidak boleh berhenti hanya semata nilai, tapi harus mewujud dalam tingkah laku, dalam akhlak, dalam budaya.

    Hablummninallah dan hablumminannas harus satu paket, Hubungan dengan Tuhan dan Hubungan dengan sesama manusia tak bisa dipisahkan satu sama lain.

    Berketuhanan haruslah berkebudayaan. Apa artinya bertuhan kalau hanya saling mencaci, saling menafikkan, saling menegasikan. Apa artinya bertuhan kalau tidak saling mencintai sesama. Apa artinya bertuhan kalau kita tidak saling menyayangi, saling menghargai dan saling mengayomi. Apa artinya bertuhan kalau perilakunya intoleran dan korupsi.

    Sekali lagi, “Berketuhanan haruslah Berkebudyaan”, tercermin dalam praktek gotong royong dalam semangat solidaritas.

    Terakhir, di tengah-tengah perisai terdapat garis horizontal hitam yang melambangkan Indonesia adalah bangsa yang berada pada orbit khatulistiwa. Dengan kesadaran bahari dan pengetahuan astronomi, masyarakat nusantara mengarungi samudra sejak ribuan tahun lalu. Nusantara adalah masyarakat maritim terbesar di dunia.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here